36% Blood sweat and tears

117 7 3
                                    

Ada sebuah malam dimana Agam Sudrajat termenung akan suatu hal di dunia ini. Kenapa ia sulit mengartikan dirinya sendiri?  Bahkan untuk kata sederhana pun Agam tidak bisa menjabarkannya.

Agam kadang berpikir seperti apa bentuk kasih sayang itu? Apakah saat ia diam-diam tertawa melihat Umar dan Bisma berdebat perkara donat? Atau ketika bermimpi melihat Rangga yang berhasil menyelesaikan rubiknya? Atau mungkin ketika ia merindukan masa kecilnya bersama Galen, Gutama dan Bapak?

Lalu seperti apa benci dan dendam itu? Apakah ketika Rangga meninggalkannya? Apakah ketika ia melihat Umar yang meninggal juga? Atau ketika ia belum bisa berdamai atas kepergian keduanya? Lantas atas dasar apa Agam membenci semua itu padahal tak ada yang bisa Agam benahi?

Jadi sebenarnya Agam ini tidak paham hidupnya atau hanya belum bisa menerima jalan hidupnya?
Kini Agam tidak tau sudah berapa banyak orang yang mati ditangannya. Yang pasti badannya terasa lengket dan berbau anyir walaupun Agam tidak terluka sedikitpun karena menghabisi mereka.

Kini semakin sedikit orang yang ada disana. Beberapa tergeletak tanpa nyawa dan berakhir sia-sia. Menyisakan beberapa orang yang tengah melihat Agam berdiri ditengah-tengah hamparan mayat itu sambil memandang Gutama.

Laki-laki diseberang Agam itu tertawa getir dengan napas yang tidak teratur. Ia sulit mengatur napas karena serangan Agam yang sangat membabi buta. Seolah ada banyak yang ingin Agam sampaikan pada Gutama disetiap serangannya.

Sampai pada akhirnya Gutama merosot pada sebuah dinding sambil menatap Agam. Napasnya tersengal tidak karuan menandakan kalau ia begitu lelah, "Jangan terlalu dendam Agam. Kita sama-sama pembunuh disini. Kita besar dirawat orang yang sama. Kita pernah makan disatu piring dan saling berbagi makanan. Kita nggak jauh beda."

"Iya. Kita gak jauh beda." Kata laki-laki itu, "Tapi kita nggak sama. Gue nggak mau disamain sama orang kaya lo."

Lagi-lagi Gutama terkekeh, "Katanya hidup itu cuma ada dua, menjadi baik atau menjadi mudah. Karena kita bukan orang baik jadilah orang yang mudah dan gak ribet untuk saling membalas dendam. Jadi kenapa kita jadi kaya gini? Kenapa kita gak saling memaafkan?"

Mendengar hal itu entah bagaimana jiwa Agam seperti tengah terbakar, laki-laki itu tidak ragu menghampiri Tama yang tengah lemas disana. Dengan cepat ia menarik kerah laki-laki itu. Rahangnya mengeras memandang Gutama yang justru tertawa remeh pada Agam.

"Jadi segampang itu kata maaf buat lo, Gutama? Setelah apa yang lo perbuat? Setelah semua yang lo lakuin ini?!"

"APA YANG GUE LAKUIN AGAM?!"

Agam terjatuh saat Gutama dengan keras mendorongnya. Hingga Agam melihat sorot mata laki-laki itu yang membuat hatinya merasa aneh. Ada ribuan kata sakit yang tidak bisa terungkap dari kilauann mata Gutama.

"Salah kalau gue kaya gini? Gue pengen harta itu lo juga sama! Kita cuma beda cara! Lo kehilangan Umar, gue juga kehilangan Anjani! Jadi sebenernya apa perbuatan gue yang bikin lo sampe kaya gini! Lo juga ngelakuin hal yang sama! Kenapa cuma lo yang merasa tersakiti disini?!"

Agam Sudrajat terdiam seketika.

"Dulu waktu kecil bapak selalu buatin kalian layangan sementara aku sama Ichan enggak. Bapak selalu beliin Rangga mainan mahal sementara Ichan selalu dapet mainan bekas. Setiap aku marah karena iri bapak juga gak pernah peduli dan bilang kalau aku anak yang syirik dan pemarah. Tapi nyatanya, kalian memang sibuk sama kebahagiaan kalian sendiri!"

Kalimat seperti itu terlontar begitu saja dari mulut Gutama, membuat Agam yang awalnya mengepalkan tangan itu tiba-tiba saja memandang laki-laki itu dengan nanar.

"Iya tau semua anak bapak memang punya luka masing-masing. Tapi rasanya cuma aku yang gak pernah dikasih obat. Rasanya masih sakit sampe sekarang seolah gak akan pernah sembuh. Aku gak tau gimana kondisi kalian sekarang tapi asal kalian tau," Gutama menjeda omongannya. Lalu dengan karas ia memukul-mukul dadanya berkali-kali, "Disini itu sakit!"

THE TIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang