35% Father and son

115 9 4
                                    

Entah bagaimana waktu berputar, namun Lintang Sahasika merasa hari ini begitu panjang. Ia seolah merasakan kalau hari ini tak kunjung selesai. Padahal ia sudah melewati banyak dari tadi. Sementara langkahnya itu tak henti-hentinya berlari kencang tanpa menghiraukan sekitar. Laki-laki itu sudah berusaha untuk kabur dari semua ini, tapi entah bagaimana Lintang justru tak menemukan jalannya.

Dalam derap langkahnya itu, jantungnya berpacu lebih cepat, sesekali ia terpikir pada dua orang yang ia tinggalkan di ruangan tadi. Bagaimana kondisi mereka sekarang? Bagaimana jika belasan orang itu menghabisi mereka hingga tewas? Sementara Lintang sendiri malah melarikan diri seperti ini.

Lintang tidak tau apa yang ia perbuat barusan. Ia sadar ia telah berkhianat pada temannya, lagi. Perilaku buruk yang selalu Lintang harapkan untuk sirna itu ternyata masih saja ada dalam dirinya. Yang pasti akan selalu Lintang sesali setelah Lintang perbuat.

Sampai ketika, kakinya itu tersandung sebuah batu. Laki-laki itu jelas langsung tersungkur. Ia menoleh kesampingkannya, menyadari bahwa ada puluhan orang yang tengah bertarung disana, berteriak menyerbu,  atau merasakan sakit luar biasa karena pertarungan itu.

Saat itu juga otaknya tiba-tiba berhenti beroperasi. Matanya seolah dibius hanya untuk melihat mereka saling membunuh.

Saat ia melihat Galen, Lintang meneguk ludahnya. Seorang Galen Satria yang ia kenal sebagai orang yang paling nyaman untuk bercerita ternyata memiliki kisah kelam dalam hidupnya. Tanpa sadar laki-laki itu ternyata pandai sekali menutupi luka.

Lintang membayangkan seberapa sakit luka yang Galen alami ketika ia tahu orang yang merawat dirinya sejka kecil itu adalah pembunuh orangtuanya sendiri.

Lalu ketika ia melihat Agam, Lintang tidak tau dan tidak bisa menebak sebetulnya seberapa besar kehilangan Agam terhadap Umar hingga menjadi seperti ini. Semua merasa kehilangan tapi ketika melihat Agam, Lintang merasa bahwa Agam juga kehilangan diri Agam sendiri.

Laki-laki itu tak sepenuhnya jahat bagi Lintang. Tapi malam ini, Lintang tidak yakin bahwa itu adalah Agam yang ia kenal.

Apakah laki-laki itu sudah membunuh Gutama? Lintang tidak tau. Tapi melihat penampilannya laki-laki itu seperti baru saja mandi darah. Ujung rambutnya menetes cairan merah, mukanya basah yang entah apakah itu keringat atau lainnya. Tapi Agam terlihat tidak terkendalikan malam ini.

Disisi lainnya, Lintang hampir tidak percaya bahwa orang yang baru saja membuat orang tewas dengan tongkat bisbolnya itu adalah Khanza. Bocah pemalas yang selalu saja meminta bantuan Lintang untuk tugas bahasa Inggris. Sejak kapan bocah itu menjadi berani berbuat sejauh ini?

Lalu apa itu? Apakah ican benar-benar mengkhianati kakaknya sendiri? Bocah itu berani menjadi tameng untuk Khanza yang hampir diserang. Seolah-olah mengatakan kalau ia sudah tidak memihak Gutama sama sekali dan hanya berpihak pada Timnya. Lintang jadi berpikir, sebenci apapun Ican pada Gutama, apakah Ican tidak punya satu memori indah sedikitpun bersama kakaknya itu?

Dan sekarang, yang ada tepat didepan matanya, yaitu Gangga dan Tirta. Dua orang itu adalah tokoh utama dari pertarungan ini. Lintang paham bahwa mereka tidak bermaksud membuat keributan ini, tapi yang membuat Lintang miris adalah ketika ia menyadari bahwa dua bersaudara ini sudah melewati masa-masa yang sulit dan akan terus begitu untuk kedepannya.

Mungkin sekarang Lintang masih bisa melihat mereka saling melindungi. Mereka saling menangkis serangan agar tak ada luka diantara mereka. Tapi Lintang tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Siapa yang akan ditinggalkan? Gangga atau Tirta? Atau dua-duanya.

Kini napasnya mulai terasa sesak. Semua yang ada di depannya seperti terekam dengan gerak lambat yang membuat kejadian ini seolah akan terus berada diotaknya. Rasanya Lintang sudah tidak sanggup lagi, ia ingin muntah dan kabur sejauh-jauhnya, ia ingin hari ini selesai secepatnya.

THE TIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang