Langkahnya ia percepat menuju mobil yang di parkir diluar. Dengan perasaan yang was-was Aji berusaha keluar dari tempat pertarungan hanya untuk memastikan Ratu. Walaupun mobil itu sudah didesain nati peluru, Aji tidak bisa tenang-tenang saja ketika meninggalkan bayi tiga bulan dimobil itu sendirian.
Katanya saja Aji ini ayah yang bodoh dan tidak punya otak Tapi Aji punya tujuan untuk itu. Aji lebih tenang jika ratu tetap ada didekatnya dari pada harus ia tinggal sendiri dirumah. Selain itu, Aji juga tidak mau jika ia tidak bisa memeluk Ratu untuk terakhir kalinya jika ia tidak selamat ditempat ini.
Awalnya semua baik-baik saja, Aji tidak menemukan satu orang pun yang melihatnya, namun langkahnya itu mengerem mendadak saat ia mendengar suara tembakan secara beruntun dari salah satu ruangan tertutup disana.
Aji segera bersembunyi dibalik dinding. Ia menunggu sang pelaku membuka pintu dan memperlihatkan dirinya. Dan ketika pintu iu dibuka, Aji melihat orang yang tengah meniup ujung pistolnya yang berasap. Tampak sekali kalau pistol tu habis merenggut nyawa seseorang.
Saat itu jug Aji menelan teguknya dengan kasar. Pikirannya mulai tidak tenang. Siapa yang telah habis dibunuh laki-laki itu? Ketika laki-laki bernama Gerry itu mulai menjauh, Aji segera berlari kecil untuk memasuki ruangan itu.Dan bisa ditebak, Aji melemas saat itu juga ketika melihat kondisi ruangan itu. Kapak yang dibawanya langsung terjatuh ke lantai. Aji tidak tahu apakah memang lampunya ruangan ini berwarna merah, atau memang pantulan darah yang membuat ruangan ini menjadi merah.
Ada belasan orang yang tewas di tempat ini dengan cara mengenaskan. Hingga Aji mendengar suara orang merintih disana...
Aji mencari-cari suara rintihan itu, dan ketika ia menemukan sumber suara itu, Aji merasa ada sambaran hebat yang mengenai tubuhnya. Matanya itu terpaku pada Kanda yang tengah bersandar pada sebuah kayu disana. Laki-laki itu tengah berusaha keras meremas perutnya, entah untuk apa tapi jelas laki-laki itu tengah menahan sakit.
"KANDAAAA!!!"...
Seorang Raden Kanda Gumilar sendiri sebenarnya tidak tahu untuk apa ia hidup didunia ini. Terlihat jelas kalau hidupnya juga tidak jauh beda dengan teman-teman lainnya. Tapi ada yang perlu diketahui tentang hidup Kanda. Kanda tak pernah membenci hidupnya.
Jika Mas Aji mematikan Wi-Fi lantai dua, yasudah nyalakan lagi.
Jika Hema, Bisma dan Afsel tidak mau merapikan alat PS dan komik di kamarnya, ya sudah omeli lalu dibersihkan.
Jika ia belum bisa bertemu Arina, ya sudah. Kanda akan cari lain waktu.
Jika memang ia hidup sebagai keturunan keraton yang banyak aturan, ya sudah. Untuk apa Kanda membenci kehidupannya karena dua orang yang saling mencintai?
Jika hidupnya memang berjalan seperti ini, ya sudah. Mungkin memang ini yang dituliskan Tuhan.
Hanya saja....
Kanda tidak pernah bermimpi kalau ia akan menemui malam ini. Dibawah lampu kemuning ini, dengan roma anyir yang menusuk indra penciumannya, Kanda tengah merintih menahan sakit luar biasa saat empat peluru yang masuk kedalam tubuhnya.
Tidak, Kanda tidak menyalahkan Afsel yang berusaha ia lindungi itu, sekali lagi Kanda bukan orang yang gampang menyalahkan. Tapi Kanda setengah tertawa saat tubuhnya itu tumbang. Dari sekian banyak perjalanan hidupnya, ia tak menyangka kalau ia akan mati dengan cara seperti ini. Ini lucu.
"Kanda...."
Mungkin Kanda sudah mulai sulit untuk membuka mata, tapi Kanda hafal suara siapa yang kini baru saja memangku kepalanya itu. Terlebih sebelumnya, laki-laki ini menjerit namanya ketika ia tengah merintih menahan sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TIM
FanfictionGangga itu tidak pernah percaya dengan namanya takdir baik. Kalaupun ia mendapatkan hal itu, akan ia anggap itu kebetulan, bukan keberuntungan. Namun apa jadinya jika memang ia ditakdirkan memiliki takdir indah namun hanya Gangganya saja yang belum...