Mobil box yang didalamnya berisi banyak computer itu masih setia berada tak jauh dari sekolah Satria Mandala. Malam itu semakin gelap, namun matanya semakin tajam menatap layar komputernya. Memantau keadaan ruangan gelap yang berada digedung sebelahnya.
Kanda tak lepas-lepasnya menatap komputer, raut wajahnya nampak begitu khawatir dengan apa yang ia lihat. Begitu juga dengan Umar yang berada disebelahnya, wajahnya boleh saja datar, posisinya juga boleh saja santai, tapi otaknya bergelut riuh dengan perasaan campur aduk ketika melihat sudah berapa banyak peluru yang lepas didalam ruangan itu.
Lalu Umar menekan ear monitornya, berbicara pada orang-orang disana untuk menawarkan bantuan, “Gue perlu masuk gak?”
“Nanti dulu.”
Jawaban dari Agam itu hanya membuat Umar berdecak, “Tapi Afsel udah ketembak, Mas.”
Sementara itu Afsel yang masih didalam ruangan dan berusaha menyerang Heri menyempatkan menjawab Umar yang tengah khawatir padanya itu, “Gue masih kuat Mas Umar. Lo jaga depan aja! Kemungkinan bakal ada yang kabur dari sini!”
Sementara samping mobil, Gangga dan Lintang memandang ruangan gelap itu dari kejauhan. Terlihat kelap-kelip cahaya kuning yang mereka yakini itu bukanlah lampu, terlebih disusul suara ledakan. Bohong kalau mereka tidak khawatir ataupun takut, terlebih ketika mendapatkan kabar bahwa Afsel sudah terluka sekarang.
“Afsel lengannya ketembak.” Kata Lintang, “Seharusnya dia mundur buat dapetin pengobatan lebih dulu. Bahaya kalau darahnya keluar banyak.”
“Emang kenapa sama darah Afsel?” tanya Gangga.
“Afsel itu punya golongan darah O rhesus negative. Itu termasuk darah langka, kalau sampai dia kehilangan banyak darah bisa bahaya karena belum mesti ada pendonornya. Makanya Mas Agam takut banget kalau Afsel bunuh-bunuh orang begitu, takut mereka bales dendam dengan cara yang lebih sadis.”
Lalu Khanza datang mengejutkan Gangga dan Lintang yang sudah melarang bocah itu untuk keluar dari mobil. Bocah itu berjalan mendekati Lintang dengan mata berkaca lalu disusul mendongak melihat ruangan gelap yang menjadi tempat dimana Hema tengah bertarung disana.
“Mas Lintang, Hema gak papa kan?”
Lintang tahu apa yang tengah dirasakan oleh Khanza. Lintang tahu betapa dekatnya bocah ini pada laki-laki bertato itu. Untuk itu Lintang membuang napas panjang, sambil menarik tangan Khanza untuk mendekat lalu berbicara dengan Hema lewat ear monitornya, “Hem, lo mau ngomong bentar gak sama Khanza? Dia ada disebelah gue.”Hema yang mau saja menyerang Alex dari balik lemari besi itu langsung kembali ketempat saat Lintang menyebut nama Khanza. Ia langsung saja berdecak kesal, padahal Hema sudah mengatakan pada Khaza untuk tunggu saja dirumah, sambil jaga anaknya Mas Aji –seperti kemarin. Tapi lagi-lagi Khanza ngeyel.
Hemapun hanya bisa membuang napas panjang sambil memijat batang hidungnya, “Kasih ear monitonya ke Khanza.”
Tak lama Hema langsung mendengar suara Khanza yang bergetar menyebut namanya. “Hema…”
Ia langsung mendekatkan dirinya pada jendela, melihat Khanza dibawah sana yang tengah menahan tangis disamping mobil bersama Gangga dan Lintang. “Ih nangis! Gue gak kemana-mana, Za. Noh gue bisa liat lu lagi mewek, coba liat jendela!”
Lalu Hema melambaikan tangannya pada bocah yang mendongak itu, “Gue aman-aman aja! Gue pasti pulang, janji. Gak usah khawatir Za. Nanti gue pulang tunggu aja didepan sama Mas Lintang ya?”
Ketika Khanza mulai mengangguk, Hema tersenyum tipis pada bocah itu dari tempatnya. Tapi sakitnya balasan senyuman dari Khanza yang begitu mempercayainya itu sungguh membuat batinnya menjerit. Padahal demi Tuhan ia tidak tahu apakah ia mampu menepati janji itu. Ia sendiri tidak yakin apakah ia berhasil keluar dengan selamat atau tidak dari tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TIM
Fiksi PenggemarGangga itu tidak pernah percaya dengan namanya takdir baik. Kalaupun ia mendapatkan hal itu, akan ia anggap itu kebetulan, bukan keberuntungan. Namun apa jadinya jika memang ia ditakdirkan memiliki takdir indah namun hanya Gangganya saja yang belum...