21% Golden Momen

162 15 3
                                    

Hari itu langit mulai berubah menjadi gelap, jarum jam sudah melewati pukul dua belas malam. Artinya ini sudah berganti hari. Tapi Agam enggan memukul bokong para manusia itu dengan selang ijo legend andalannya. Justru diam-diam ia mengintip dari pintu. Melihat para adiknya itu tengah bernyanyi-nyayi ria. Ia hanya tidak ingin mengusik kesenangan mereka untuk malam ini.

Agam yakin kalau mereka merasa dingin, tapi Agam juga yakin kalau mereka tidak pernah merasakan kedinginan. Mereka akan merasakan hangat tanpa api. Bahkan tak pernah merasa sepi walau tengah sendiri. Segala bentukan tawa itu adalah lagu paling indah yang pernah Agam dengar. Tak peduli ada berapa banyak kisah kelam dibalik gelakan itu.

Kini mereka duduk melingkar dengan dipan sebagai panggung konser dadakan yang diselenggaraakan oleh Hema dan teman-temannya itu. Dengan perlahan Afsel memetik senar gitar itu, menciptakan atmosfir damai dan teduh pada malam dingin itu, “Bun hidup berjalan seperti…”

“Di Dufan.”

Coba tebak siapa manusia tanpa dosa itu? Yap! Itu Lintang.

Tanpa ingin tertawa ataupun menanggapi seorang Lintang Sahasika, semuanya memilih terdiam, karena sebuah atensi mengalihkan pandangan mereka yaitu Hema. Hingga sekian lama, lagu bergenre Indie itu berganti ke genre lainnya.

Hema sudah siap dengan galon dipangkuannya, membuat irama ala-ala gendang dipanggung pantura sambil bernyanyi, Tiwas tak gondeli tenanan, sayangku wes ora kurang-kurang jebul mung dadi pelampiasan.”

Bisma lantas mengangkat tangannya heboh, “TIWAS OPO MAS LINTANG?!!”

Lintang yang always siap diajak goyang langsung saja menyaut tak kalah heboh saat itu, Tiwas tak banggakke, tak pamer-pamerke, jebul e seng bedo keyakinanne.”

(Terlanjur dibangga-banggakan, dipamer-pamerkan. Ternyata yang beda keyakinannya.)

Gemuruh tepuk tangan akhirnya mengapresiasi laki-laki yang katanya gila itu. Entah kenapa, walaupun mereka menyanyikan lagu dengan berbagai genre, tapi lagu-lagu yang dibawakan band kepret malam ini tiba-tiba saja full mellow.

Hal itu membuat Kanda yang asli orang jawa, plus hatinya sedang gundah gulana sebab perkataan pamannya tadi pagi, menjadi orang paling merana sedunia karena lagu itu. Apalagi Umar yang duduk disebelahnya itu, laki-laki yang biasanya membuat konser dadakan ini makin heboh hingga membuat Agam turun tangan itu menjadi lesu dan malah seperti menularkan virus galau pada Kanda karena mereka lagi sama-sama patah hati.

Hingga Kanda bertanya pelan pada manusia setengah harimau disebelahnya itu,  “Gimana rasa gagal nikah Mar?”

Umar yang mendengar hal itu tahu kemana arah pertanyaan. Walaupun dikata Kanda ini jarang nimbrung sama anak-anak, Kanda adalah orang yang paling bertukar cerita dengannya tentang perempuan yang mereka cintai itu. Jadi kisah Arina dan Anjani itu sudah tidak asing lagi bagi mereka.

Umarpun hanya menunduk sambil menyungging ujung bibirnya, “Gue tu bukan gagal nikah Nda…gue ditinggal aja sama dia. Gagal nikah itu cuma omongan gue yang melebih-lebihkan aja karena saking cintanya gue sama Anjani. Emang cinta mati gue sama Anjani. Kita dulu cuma pacaran biasa, bahagia, terus nikah sebagai canda-candaan doang. Tapi aslinya emang pingin nikah sama dia. Tapi gagal gara-gara gue malah jadi pecandu.”

“Jadi inget dulu Mas Agam berusaha buat nyembuhin gue dari serbuk sialan itu. Tangan kaki gue sampe ditali kaya petrick star ama dia biar gak nyentuh tu obat.” Lanjutnya sambil terkekeh.

Dan Kanda hanya tertawa sambil memukul kepala Umar, “Bandel lo jadi anak! Untung masih ada Mas Agam yang mau nganggap lo adek.”

“Ya makanya gue bersyukur banget disini. Gimana kabar lo sama Rina, udah ketemu?”

THE TIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang