5 Tahun kemudian...
Jika langit berubah menjadi gelap karena matahari yang tenggelam, maka hanya perlu menutup mata saja untuk melihat langit menjadi cerah lagi dipagi esoknya.
Mungkin begitulah kira-kira perjalanan mereka untuk sampai dititik ini. Mungkin ada kalanya kejadian itu datang dimimpi mereka, mengulik luka lama yang susah payah mereka lupakan, yang kembali membuat hati mereka nyeri untuk kesekian kalinya. Tapi bersama waktu yang berjalan, luka itu mulai membaik walaupun tak sepenuhnya hilang.
Kini gemerlap lampu warna-warni menghiasi malam dari ujung ke ujung. Suara musik keras nan berisik menjadi satu-satunya lagu yang turut meramaikan sebuah pameran serta pasar malam dimalam itu.
Suara pedagang saling bersahutan menawarkan dagangannya, tak sedikit bocah-bocah merengek meminta mainan namun tak dituruti orangtunya hingga menangis heboh ditempat.
Gumpalan awan itu masih ada diatasnya, bersama langit hitam serta cahaya rembulan yang melengkapi langit malam pada sebuah pameran rutinan yang diadakan didaerah itu pada setiap bulannya. Hingga menimbulkan pertanyaan oleh dua laki-laki yang tengah menunggu jajanannya dikemas.
Seperti, apakah ini bulan yang sama dengan bulan yang pernah menjadi saksi malam kehancuran lima tahun lalu itu? Apakah ini juga bulan yang sama yang menjadi saksi tangis kehilangan itu?
Terkadang Hema dan Bisma tidak menyangka kalau mereka masih berdiri menapak tanah sementara kejadian itu bisa membuat mereka mati saat itu juga.
"Berapa Mbak?"
"Buat Masnya gratis."
Bisma mengernyitkan alisnya ketika sang pedagang roti bakar itu menolak uang yang ia sodorkan, "Lah kenapa gitu?"
Gadis dengan poni tipis serta senyum teduhnya itu menggeleng, sesekali ia menunduk malu ketika Bisma menatapnya, "Nggak papa. Udah ambil aja."
"Yeuuu kalo suka bilang Mbak. Apelin aja ke rumah. Noh rumahnya di Gang Merpati sebelah warung Bu Asih."
Tau-tau Hema sudah nongol saja dibelakang Bisma sambil memakan donat gula yang baru saja ia beli itu.
"Anjing! Apaan sih Hem."
Bisma geram namun gadis berponi itu lagi-lagi tersipu membuat Hema terbahak saat itu juga melihat wajah keduanya.
"Hahaha iya Mas. Di rumah besar itu kan? Saya sering liat Masnya wara wiri kalo lagi beli bahan kue di warungnya Bu Asih." Lanjut gadis itu.
Karena merasa kikuk sendiri, Bisma langsung menyudahi suasana canggung itu. Ia tersenyum kaku sambil menerima roti bakar gratis lalu segera menyeret Hema agar tidak mengomporinya.
Lagian sebenarnya ini tidak hanya terjadi pada Bisma saja. Bisma yakin seratus persen kalau donat gula yang dimakan Hema juga gratis karena penjualnya juga naksir sama Hema. Jadi tau kan alasan kenapa mereka ke pasar malam? Yap! Nyari gratisan jajan.
Tidak bisa dipungkiri kalau kehidupan mereka disini jauh lebih baik. Orang-orang sangat menerima mereka disana, walaupun aslinya mereka jarang sekali keluar rumah. Mereka dikenal sebagai saudaranya Lintang yang "Tampan." Hingga tak sedikit gadis-gadis disana mulai mengagumi mereka, tapi sayangnya banyak gadis yang merasa sungkan ntuk mendekat karena mereka terkesan antisosial dengan warga setempat.
Tidak bisa dipungkiri kalau sjak dulu mereka sudah terbiasa tidak berbaur dengan masyarakat. Mereka selalu saja mengasingkan diri dan berinteraksi seperlunya saja. Karena mereka juga menghindari pertanyaan-pertanyaan dari warga tentang diri mereka.
Malam itu mereka memilih duduk dipinggir lapangan, tepatnya disebelah tenda kecil yang tengah memamerkan beberapa lukisan serta menjual barang-barang antik disana. Mereka melihat lalu lalang manusia yang berada ditempat itu. Merenung sejenak melihat ramai orang itu dengan pikiran yang melayang entah kemana.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TIM
FanfictionGangga itu tidak pernah percaya dengan namanya takdir baik. Kalaupun ia mendapatkan hal itu, akan ia anggap itu kebetulan, bukan keberuntungan. Namun apa jadinya jika memang ia ditakdirkan memiliki takdir indah namun hanya Gangganya saja yang belum...