Agam selalu bilang kalau ia menyayang semua adik pungutnya ini. Iya dia bilangnya adik pungut, agak gengsi kalau Agam bilang adik angkat. Padahal, walaupun tidak memiliki hubungan darah sekalipun, ia selalu berusaha adil dengan manusia yang ada disini.
Namun ada yang membuat Gangga heran selama ia berada disini.
Gangga pernah bertanya pada salah satu penghuni sini, Bisma. Ia merasa bingung kenapa Umar selalu mendapatkan perlakuan berbeda dari Agam. Gangga bukan merasa tidak adil, ia tidak peduli kalaupun Agam memang lebih menyayangi Umar dibanding lainnya, hanya saja ia heran, kenapa Agam seolah-olah paling kejam dengan Umar tapi juga paling sayang dengan Umar. Tapi malam itu Gangga mendapatkan jawabannya,“Singkatnya aja Mas Agam itu adalah orang yang ngerawat Umar selama ini. Umar kaya adik yang lagi dididik keras sama kakaknya demi kebaikan dia. Kalau ditanya Mas Agam tu paling keras sama siapa, jawabannya ya sama Umar. Tapi kalau ditanya, Mas Agam itu paling sayang sama siapa, jawabannya ya juga sama Umar.”
…
"THAT'S SHOULD BE ME HOLDING YOUR HAND!!!"
Langit hari itu memang sudah cerah, matahari juga sudah muncul di ujung sana, namun tetap saja bagi penghuni rumah yang didominasi dengan pengangguran ini, setengah tujuh pagi adalah jam yang masih pewe-pewenya untuk ngorok dan bergelung dibawah selimut.
Namun semua itu terganggung karena mic yang suaranya menyebar ke seluruh kamar itu tengah disetelkan lagu super galau dengan volume yang lumayan keras. Jelas saja hal itu membuat para penghuni saja langsung uring-uringkan karena tidurnya tengah diganggu.
Aji yang tengah menenangkan bayinya yang terkaget, juga termasuk dirinya yang masih ngantukpun jelas langsung berdecak kesal bangun dari tempat tidurnya, “Ini siapa sih nyetel lagu di jam begini! Gak inget apa ada bayi disini!”
Sementara Hema, laki-laki itu juga terbangun, matanya belum sepenuhnya terbuka. Ia juga melirik jam dinding yang ternyata juga masih setengah tujuh, ia bahkan juga melirik kasur Khanza yang menampilkan bocah itu masih pulas memeluk gulingnya, “Khanza aja masih belum bangun, dan udah ada yang berisik dijam segini? Manusia resek!”
Bahkan Lintang yang kini sudah mulai pulih dan kembali dengan sehat pasca operasi usus buntunya itupun jelas saja langsung membalikan tubuhnya dan menutup kepalanya dengan bantal. Laki-laki itu masih belum boleh banyak bergerak untuk melempar bantal apek ke muka pelaku pagi ini.
Terlebih Gangga, laki-laki sudah berkali-kali menggulingkan badannya hanya untuk mencari posisi nyaman untuk menyumpal telinganya itu dengan menutupi kepalanya dengan bantal. Namun sayangnya suara sound dibawah itu lebih keras dan sangat mengganggu tidurnya.
Maka ketika kesabarannya sudah habis, laki-laki itu langsung beranjak dari ranjangnya. Ia berjalan kearah pintu dan membukanya dengan kasar dan berteriak didepan kamar, “KELUAR LO YANG NYETEL MUSIK KERAS BEGINI! GUE TEBAS KEPALA LO PAKE PEDANG NABI MUSA!!”
Tirta yang kamarnya bersebelahan dengan Gangga, sekaligus menjemur handuk karena baru selesai mandi itu lantas menoleh pada Gangga yang pagi-pagi sudah emosi saja. Heran kenapa ada manusia yang punya kesabaran setipis tisu dibagi sekampung seperti Gangga.
Kandapun juga begitu, dengan wajah bantalnya dan belum sempat memakai kacamata, ia membuka kamar sambil menggaruk-garuk kepalanya, “Siapa sih pagi-pagi udah berisik begini? Kalau niat bangunin orang ya gak harus lagu galau juga kan? Bisa gak lagunya diganti yel-yel bedah rumah aja biar lebih semangat.”
“Siapa yang nyetel lagu keras banget di jam begini!” Kini Gangga mendekat pada Tirta yang tengah menjemur handuknya itu.
Bocah yang rambutnya masih basah itu hanya mengangkat dagunya pada orang yang tengah menyapu halaman dengan wajah sedih tidak tertolong dengan sapu lidi sebagai micnya, “Tuh.”
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TIM
أدب الهواةGangga itu tidak pernah percaya dengan namanya takdir baik. Kalaupun ia mendapatkan hal itu, akan ia anggap itu kebetulan, bukan keberuntungan. Namun apa jadinya jika memang ia ditakdirkan memiliki takdir indah namun hanya Gangganya saja yang belum...