Pada suatu hari yang panas Bisma berharap kalau ia hanya terbangun dari sebuah mimpi buruk dalam tidurnya. Ia berharap kalau malam kehancuran yang ia alami itu tidaklah nyata.
Tapi ketika ia menoleh kesamping, ia mendapati Hema yang tengah menyandarkan kepalanya ke jendela sambil terpekur. Sebagaimana yang kejadian yang ia harapkan hanya sebuah mimpi itu, Hema yang kehilangan Khanza adiknya itu adalah nyata. Membuat Bisma sedikit demi sedikit sadar kalau kehilangan teman-temannya itu bukan sebuah mimpi belaka.
Bisma tidak tau sudah berapa lama Lintang membawanya pergi dengan mobil ini. Yang pasti ketika ia membuka matanya, matahari sudah berada diatas. Membuktikan kalau hari ini sudah terik. Ia melihat sekitarnya dengan suasana asing karena Bisma sama sekali belum pernah kesini. Apalagi ada satu yang menarik perhatiannya.
"Ngapain berhenti didepan rumah gedongan begini?" Gumam laki-laki itu.
Mata Bisma lebih tertarik pada satu rumah mewah yang begitu mencolok diantara rumah disekitarnya. Bagaimana tidak? Disaat rumah disekitarnya itu hanyalah rumah sederhana, rumah itu terkesan terlalu mewah untuk pemukiman itu. Terlebih dengan desain modern klasik yang memberikan kesan elegan pada rumah itu.
Tapi sudahlah. Memang apa pedulinya?
Ia memilih mengalihkan pandangannya pada bocah yang berada dibangku depan. Tirta masih tertidur pulas sementara kursi kemudi disebelahnya kosong entah kemana orangnya.
"Mas Lintang mana?" Tanya laki-laki itu pada Hema.
Hema melirik pelan, lalu menaikan dagunya pada warung yang ada disebrang jalan. Menunjukan Lintang yang entah tengah bicara dengan siapa disana. Tapi Bisma yakin kalau Lintang tengah bicara dengan pemilik warung itu.
Sementara itu Lintang tengah bicara pada pemilik warung.
Sikapnya tampak biasa seolah memang sudah akrab pada wanita paruh baya ini. Walaupun sang pemilik warung sedikit kaget dengan kehadiran Lintang yang sudah lama tak ia temui itu."Loh kamu bukannya Lintang ya? Anaknya Bu Petra?"
Dengan tawa canggungnya, Lintang mengangguk kecil, "Iya Bu."
Sampai ibu pemilik warung itu memukul bahu Lintang, "Kemana aja kamu? Kok lama gak keliatan hah?! Ibu kira kamu udah mati bunuh diri! Dasar bocah nakal!"
Lagi-lagi Lintang tertawa kecil. Itupun sudah sekuat tenaga Lintang berikan karena sebenarnya Lintang tidak mampu untuk mengulas senyuman sedikitpun sekarang. Tapi mengingat betapa baiknya perlakuan Bu Asih padanya ketika mereka masih sering bertemu, membuat Lintang mau tidak mau membalasnya dengan seutas senyuman kecil.
"Ya biasa buk. Lintang sumpek di rumah, makanya Lintang kabur." Ucap laki-laki itu dan hanya dibalas decakan sinis dari Bu Asih.
"Sekarang mamah kemana? Kok rumah tutupan gitu?" Lanjutnya sambil melirik satu-satunya rumah mewah yang paling mencolok diantara rumah lainnya itu, alias rumah yang menarik perhatian Bisma tadi. "Mamah gak mati kan?"
Lagi-lagi Lintang mendapatkan pukulan dibahunya namun lebih keras, "Kurang ajar! Bisa-bisanya kamu bilang gitu ke Ibumu sendiri! Ibu kamu udah pergi ke London dua tahun lalu. Ya habis kamu ngilang itu! Dia nikah sama orang sana. Ya kamu taulah ibu kamu tau kerjaannya apa."
Lintang mengangguk paham, seolah itu bukanlah hal yang mengagetkan untuk seorang Lintang Sahasika. Ternyata ibunya memang tidak pernah berubah sampai sekarang. Bahkan ketika Lintang sudah mencoba meninggalkannya sebagai harapan agar ibunya sedikit merasa jera.
"Terus sekarang dia ga balik lagi gitu? Rumah dijual apa gimana?"
Bu Asih membuang napas panjang, "Itu sih ibu gatau. Tapi kalo soal rumah....bentar." Bu Asih menjeda omongannya lalu pergi meninggalkan Lintang sejenak. Ia membuka sebuah loker kecil dibawah meja dan merogoh suatu benda disana. Dan setelah ia menemukannya ia menarik telapak tangan Lintang dan memberikan sebuah kunci.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TIM
FanfictionGangga itu tidak pernah percaya dengan namanya takdir baik. Kalaupun ia mendapatkan hal itu, akan ia anggap itu kebetulan, bukan keberuntungan. Namun apa jadinya jika memang ia ditakdirkan memiliki takdir indah namun hanya Gangganya saja yang belum...