Otaknya itu berusaha menyeimbangkan ingatan yang perlahan memenuhi memorinya ketika ia menginjakan kakinya di rumah ini. Ia bertanya-tanya apakah kecelakaannya beberapa tahun lalu itu memang menghilangkan sebagian ingatannya atau tidak. Pantas perjalanannya kesini terasa begitu familiar, karena Tirta kehilangan sebagian memori kecil tentang rumahnya.
Atau lebih tepatnya memori buruk?
Nyatanya Tirta hanya mengingat kenangan indahnya tapi tidak dengan kenangan buruknya. Buktinya dia masih ingat kalau dia berasal dari keluarga kaya dan Gangga adalah kakaknya. Gangga itu termasuk memori indah untuk Tirta. Juga dengan orang terdekat lainnya sperti Nora dan Asoka.
Netra coklat itu tak lepas dari dinding-dinding tinggi yang ada disekitarnya, setiap sudutnya, warna catnya, letak bendanya semuanya masih berusaha ia tangkap untuk ia cerna. Hingga satu-satunya lukisan keluarganya berukuran besar yang terpajang diruang tamu itulah yang menjadi satu-satunya alasan bahwa benar, Tirta sudah kembali ke rumah keluarganya dulu.
Lukisan anggota keluarga Elmahera.
Lukisan itu tidak pernah berubah walaupun sudah dua belas tahun berlalu setelah ia meninggalkan tempat ini. Catnya masih awet dan tidak memudar karena dibuat oleh seniman kenalan keluarganya. Begitu juga ketika Tirta melihat empat ulasan senyum dilukisan itu, nampak sekali betapa hangatnya keluarga ini. Bahkan hanya dengan melihatnya saja, Tirta bisa merasakan betapa nyamannya berada dipelukan kedua orang tuanya.
Padahal sebelum ini Tirta mengira kalau lukisan ini akan sama rentanya seiring berjalannya waktu. Ia berandai-andai kalau berpuluh-puluh tahun semudian ia akan melihat seseorang menemukan lukisan ini dan bertanya-tanya siapa pemiliknya. Lalu dengan tubuh rentanya Tirta hanya sanggup menjawab itu adalah lukisan keluarga bahagia yang sudah meninggal dengan tragis dan menyisakan Sang bungsu saja. Yaitu dirinya.
Tapi agaknya hal itu tidak akan terjadi. Walaupun kedua orang tuanya itu sudah tidak ada, Sang bungsu Tirta tidak akan sebatang kara seperti yang ada dibayangannya. Kakaknya Adipati Gangga itu rupanya masih tegap berdiri disampingnya untuk selalu menjaganya. Menjadi tongkat penyangga ketika ia benar-benar hampir runtuh jiwa raganya.
"Jadi ini gue beneran balik ke rumah?"
Laki-laki disebelahnya itu mengangguk. Menepuk pundak adiknya yang masih mendongak menatap lukisan besar itu sambil tersenyum simpul, "Iya. Ini rumah kita."
Perlahan Tirta memutar badannya untuk menatap Gangga. Menatap laki-laki yang mata kanannya kini cacat karena kerjadian malam itu. Lalu ia tertawa kecil, tidak peduli seberapa rusaknya hubungan mereka dulunya, nyatanya Tirta tetap merasa kalau dunianya runtuh ketika Gangga meninggalkannya.
Sementara itu disudut lainnya, ada Agam yang melihat Gangga dan Tirta dari jarak jauh sambil menggendong Ratu. Agam melihat mereka nampak terharu karena bisa dipertemukan lagi kalau sebelumnya mereka sudah menganggap mati satu sama lain dan menatap lukisan keluarganya.
Disitupun Agam hanyut kembali akan pikirannya. Seandainya hari itu Agam tidak membunuh kedua orang tua mereka, seandainya Agam tidak menjadi anak Prabu, seandainya Agam tidak lahir kedunia, Agam mungkin tidak menciptakan kehancuran bagi dua anak itu.
"Pah..."
"Papah..."
Agam mengerjap saat Ratu memanggilnya, "Apa sayang?"
"Kenapa Om Gangga nangis-nangis? Papah juga? Kenapa sih Pa?"
Agam menyeka matanya yang lagi-lagi berkaca lalu menggeleng dan membuang napas. Ia menyisihkan anak rambut Ratu kebelakang telinga dan menatapnya, "Matanya kelilipan."
Lalu Agam menatap Ratu serius, "Udah. Sekarang Ratu dengerin Papah, Papah kan udah bilangin kalau belum ada yang jemput tunggu aja dulu di sekolah. Jangan kemana-mana. Kamu pikir gak bahaya jalan sendirian di hutan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TIM
FanfictionGangga itu tidak pernah percaya dengan namanya takdir baik. Kalaupun ia mendapatkan hal itu, akan ia anggap itu kebetulan, bukan keberuntungan. Namun apa jadinya jika memang ia ditakdirkan memiliki takdir indah namun hanya Gangganya saja yang belum...