Entah hari apa malam itu, yang pasti malam itu adalah malam dimana Gangga yang terengah-engah karena baru saja mengangkat seember pakaian yang hendak ia jemur diatas, begitu juga dengan Aji yang tengah merebahkan dirinya didipan, lalu disusul Lintang yang membawa sebaskom kacang rebus. Ketiganya berkumpul lebih dulu diatap sana, menyantap kacang rebus keasinan buatan Lintang sambil berbicara banyak hal.
Kata Gangga, "Menurut kalian sampai kapan kita tinggal disini?"
"Sampe mati."Jawaban Aji itu hanya membuat Lintang melirik sinis, "Emangnya Mas Agam mau ngurusin lo sampe mati? Tapi lu kepikiran nggak sih kalo kita emang bakal mati diwaktu deket ini? Gue kepikiran itu semenjak kita setuju buat gabung misi ini."
"Iya juga ya. Cepat atau lambat kita bakalan tetep mati nggak sih kalo masih berhubungan sama Tama." Imbuh si Aji Damar Hamizan.
Tapi yang sedang Gangga bicarakan adalah bukan mati karena hal itu. Tapi mati karena memang sudah waktunya. Mengingat manusia tidak akan pernah abadi. Semua akan pulang dengan caranya masing-masing. Ia hanya berangan-angan bagaimana jika dunia sedamai bak negeri dongeng. Dimana mereka hidup tidak terlalu menyakitkan seperti yang tengah ia jalani sekarang. Ia hanya berandai-andai bagaimana jika mereka sudah tidak bersama lagi.
Bagaimana keadaan gedung ini ketika semua telah pergi nanti? Apakah rumah susun ini akan berlumut karena tidak ada yang merawat? Daun-daun itu dibiarkan berserakan memenuhi teras, Atau mungkin akan rata dengan tanah karena seseorang telah membelinya untuk direnovasi? Atau bisa saja akan tetap berdiri tegap dan kokoh namun dianggap sebagai rumah tua yang berhantu karena seluruh penghuninya sudah mati terbunuh?
Adakah yang mengira kalau rumah susun ini pernah menjadi markas orang-orang aneh yang sedang mengincar harta lima ton? Atau tentang pria yang marah besar karena kedatangan seorang bayi perempuan? Atau kericuhan penghuni rumah karena harimau lepas? Atau mungkin suara woro-woro kehilangan sempak? Apakah ada yang tau kalau atap itu pernah menjadi saksi pertengkaran hebat dua sahabat karena kesalahpahaman? Atau mungkin saksi dimana ada dua orang saudara yang dulunya tak pernah akur tapi bermain batminton dengan ceria disuatu malam?
Terlalu banyak cerita yang sayang untuk dilupakan jika mereka tak lagi bersama. Ada banyak memori acak yang masih ingin Gangga simpan didalam dirinya tentang kehidupan rumah susun beserta orang-orang didalamnya ini. Bahkan rasanya, harta itu tak lagi berharga jika dibanding seluruh kebersamaan mereka disini.
Hingga dalam keheningan itu, Gangga nyeletuk sambil memasukan kacang kemulutnya, "Ngomongin soal mati, kira-kira siapa yang bakal mati duluan?"
"Gue."
Saat itu juga kedua laki-laki yang lahir dibulan desember itu menoleh pada orang yang duduk ditengah-tengah mereka. Ya, Gangga dan Lintang reflek menoleh pada Aji yang menjawab dengan singkat sambil memandang hamparan langit hitam yang ada didepannya.
Malam itu keduanya terbahak keras. Sesekali Lintang memukul kepala Aji karena menganggap hal itu sangatlah lucu. Bahkan Gangga juga turut mendorong tubuhnya Aji hingga tersungkur karena lemas tertawa.
Kata Gangga, "Gak heran sih, soalnya lo mager kalo disuruh lari pas diserang musuh. Mana lu orangnya gampang engap lagi."Bahkan Lintang adalah enteng membalasnya dengan bersenandung, "Tanam-tanam ubi, tak perlu dibaje. Bacot kao Aji, mari bunuh saje."
Tapi dimalam ini, Lintang menyadari bahwa betapa bodohnya Lintang ketika ia sadar dengan omongan yang pernah ia ucapkan pada Aji. Kini ia tau apa maksud omongan Aji malam itu.
Siapa yang menyangka malam yang diharapkan meriah karena Galen akan bagi-bagi uang itu akan menjadi malam yang kaku seperti ini? Sejak kapan Aji akan bicara seserius ini? Dan bagaimana bisa Aji yang setiap kali mereka lihat dengan tubuh kurusnya itu ternyata telah menyembunyikan penyakit parah?
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TIM
FanfictionGangga itu tidak pernah percaya dengan namanya takdir baik. Kalaupun ia mendapatkan hal itu, akan ia anggap itu kebetulan, bukan keberuntungan. Namun apa jadinya jika memang ia ditakdirkan memiliki takdir indah namun hanya Gangganya saja yang belum...