Enam

103 9 7
                                    

"Menginap di mana kau semalam, huh?"

Kim Min Ji, seorang wanita yang telah menjabat sebagai manajer pribadi Hwang Ji Na melontarkan pertanyaannya dari tempat duduk yang berada di samping kemudi mobil tanpa menoleh sama sekali.

Sementara, Hwang Ji Na memilih untuk mengabaikan segala bentuk gangguan dari kursi penumpang di belakang Min Ji. Sedari keberangkatannya menuju bandara tadi, wanita itu sudah sibuk melamun ke arah luar jendela mobil. Ia tidak fokus sama sekali. Hatinya masih diselimuti perasaan gloomy yang tak berujung. Mendung sekali, padahal cuaca di luar terlihat sangat cerah hari ini. Alih-alih menikmati cuaca cerah untuk mengusir hawa mendung di hatinya, Ji Na lebih memilih untuk menikmati kesenduannya pagi ini dengan memperhatikan gedung per gedung yang semakin tertinggal di belakang.

Ji Na menghela nafasnya panjang melalui mulutnya sambil melipat kedua kakinya ke atas kursi. Perjalanannya menuju bandara Incheon untuk penerbangannya ke Italy sudah hampir sampai. Tapi naasnya, pikiran Ji Na masih tertinggal di belakang. Pikirannya masih berkutat pada hilangnya bandul peluru gelangnya yang sampai saat ini belum juga ditemukan. Gundah sekali rasanya jika ia benar-benar harus kehilangan bandul tersebut selamanya.

"Huh," Helaan nafas Ji Na terhembus kembali, kali ini ia suarakan dengan agak keras sambil membuat punggungnya semakin merosot pada sandaran kursi.

"Eo? Apa katamu?" Min Ji tak begitu mendengarnya. Wanita itu menolehkan separuh tubuh bagian atasnya ke belakang kursinya, persisnya ke arah Ji Na duduk. "Ya! Kau tidak mendengarku tadi?" tanyanya memastikan.

"Ne?" mendengar suara agak keras dari Min Ji, Ji Na baru tersadar dari lamunannya dan memandang manajernya bingung.

"Lihatlah. Kau tidak fokus dari berangkat tadi. Huh? Ada apa? Kenapa kau tidak ada di apartemenmu semalam dan malah diantar Jeno pagi tadi?" Min Ji mengulang pertanyaannya.

"O," Ji Na ber-o ria sejenak sambil membenarkan posisi duduknya menjadi tegap kembali. "Aku menginap dengan Jeno. Di suatu tempat," jawabnya sekenanya. "Oh, kau sudah bawakan koperku, Eonni?" tanyanya selagi ia ingat.

"Sudah. Aku menyimpannya di bagasi. Semua pakaianmu, pakaian dalammu, dan beberapa keperluan hari-harimu seperti biasa," Min Ji menjawab santai. "Kalau ada yang tertinggal nanti beli saja di sana."

Ji Na mengangguk. "Baiklah. Terima kasih, Eonni."

"Berhubung kau melamun sepanjang jalan, aku akan ulangi jadwal yang akan kau lakukan di Italy. Jadi, dengar baik-baik," Min Ji memberi peringatan sambil menyodorkan roti sandwich yang telah ia beli pada Ji Na. "Isi Chicken Mayo," tambahnya terkait isi roti sandwich tersebut.

Senyum Ji Na pun tergelar begitu ia mendengar isian roti sandwich kesukaannya. Wanita itu menerimanya dan siap melahapnya sambil mendengar rentetan jadwal yang disampaikan oleh Min Ji dengan cerewetnya.

"Kita akan tiba di Milan sekitar jam 10 pagi besok. Lalu, check in hotel. Jam 3 sore fitting dan lanjut rehearsal. Oh, dengar baik-baik, kudengar Arthemis Serene akan datang mengawasi rehearsalnya langsung nanti sore. Dan, hari selanjutnya, rehearsal di lokasi dari jam 10 pagi...⸺"

Jangan heran jika Ji Na tak begitu mendengarkan sepenuhnya. Ia sibuk mengunyah, mengisi perutnya dengan sandwich chicken mayo dengan serius. Sedikit kebahagiaan hari ini dengan sandwich kesukaannya, Ji Na berharap ia mampu meredakan kegelisahannya yang tak kunjung reda perihal kehilangan bandul kesayangannya.

*

Di dalam sebuah gudang cukup besar dengan ukuran 25 x 30 meter, Lee Tae Yong mengekori Nakamoto Yuta menuju sudut ruangan tempat bergeletakkannya 9 pria berpakaian rapi di atas tikar. Tae Yong melepaskan kancing jas yang dikenakannya saat mengambil ancang-ancang untuk berjongkok di sisi kepala salah satu bodyguard yang tergeletak pingsan. Pria itu memandang Yuta, memastikan bahwa seluruh bodyguard yang seharusnya kini bertugas untuk mengawal Hwang Ji Na telah berada di dalam ruangan ini.

DESIRE : EMOTIONALLY MANIPULATIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang