Tiga Puluh Enam

89 7 4
                                    

Jae Hyun limbung. Ia berjalan gontai di koridor rumahnya menuju ruang rapat sambil membawa satu bundle berkas penting di tangannya. Malam yang ia lalui terlalu panjang tanpa Ji Na. Ia tak bisa tidur. Bahkan, untuk sekedar memejamkan kedua kelopak matanya pun tidak bisa. Kepalanya terlalu penuh dengan ambisi untuk membawa Ji Na pulang secepat mungkin. Mengembalikan wanita itu ke pelukannya secepat mungkin. Dan, itu membuat Jae Hyun terjaga sepanjang malam. 

Pagi ini, Jae Hyun menyeret langkah tanpa gairah menuju ruang rapat. Ia sudah menyampaikan rencananya untuk mengadakan rapat pagi ini bersama Dream untuk pertama kalinya. Ia sepakat dengan saran Tae Yong untuk melibatkan Dream bersama mereka kali ini. Yang artinya, secara sekaligus, mengembalikan peran Mark dan Hae Chan di 127. 

Dari kejauhan, ruang rapat sudah cukup penuh diisi oleh seluruh anggota. Terlihat dari pintu ruangannya yang masih terbuka lebar. Bahkan, Yuta terlihat baru masuk bersama Mark yang lesu di rangkulan tangannya. 

Dari kejauhan itu pula, Jae Hyun menangkap satu orang yang berdiri sambil menyandarkan punggungnya di dinding luar ruangan. Jeno, pria itu terlihat tak bergairah sama seperti Jae Hyun. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, penuh penyesalan, penuh perasaan malu. Adik Ji Na yang gagah itu bahkan loyo, kedua lengan kekarnya yang masuk ke saku celananya bahkan terlihat tak bertenaga. Ia lebih banyak melamun dibanding mengikuti teman-temannya untuk bergabung di dalam ruang rapat.

Jae Hyun menghampirinya. “Apa yang kau lakukan? Cepat masuk,” desaknya galak menitah Jeno untuk segera masuk atau rapat tak akan mulai. 

Alih-alih menurut, Jeno justru berdiri menghadang langkah Jae Hyun. Pria itu sepertinya memang sengaja menunggu di luar ruangan untuk bicara dengan Jae Hyun. Ia, dengan luka lebam akibat pukulan Jae Hyun kemarin, malah menatap Jae Hyun dengan tatapan nanar.

“Kau… sungguh mencintai Kakakku?” tanya Jeno dengan tatapan penuh harapan yang tersorot di balik tatapan sendunya yang paling dominan. Jeno berharap apa yang akan ia lakukan kali ini tak lagi salah langkah. 

Jae Hyun terdiam. Ia ingin mengamuk pada Adik kecil Ji Na itu. Namun, dari dalam lubuk hati Jae Hyun memikirkan, apa kiranya yang akan Ji Na lakukan padanya jika wanita itu tau kalau Jeno babak belur akibat ulah Jae Hyun? 

Benar. Segala tindakan Jae Hyun kali ini memang lebih banyak disetir oleh pertimbangan mengenai Ji Na. Pun, terkait amarah yang Jae Hyun putuskan untuk kontrol di hadapan Jeno demi Ji Na. Meskipun, Jae Hyun begitu ingin memaki kesembronoan Jeno terhadap Ji Na. Namun, Jae Hyun tau, Jeno bertindak begitu murni karena memang ia menyayangi Kakaknya.

Untuk itu, Jae Hyun pun bergerak menghampiri Jeno. Ia berdiri persis berada di hadapan Jeno sambil mencengkram leher Jeno⸺seolah akan mencekik lehernya. Jeno bahkan bersiap-siap, ia menahan nafas seolah cengkraman Jae Hyun berubah jadi cekikan di lehernya. Meskipun rupanya tidak. Jae Hyun hanya mengancamnya sedikit dengan menyentuh leher Jeno, tanpa ada kekuatan sama sekali.

“Dengar baik-baik dan jangan berani-beraninya kau bocorkan hal ini pada siapapun,” Jae Hyun menghampiri telinga Jeno dan berbisik, “Kakakmu sedang hamil anakku. Dan, aku tidak mau kehilangan mereka berdua.”

Informasi itu berhasil membuat kedua bola mata Jeno membulat dan melotot. Ia tak tau jika hubungan Kakakknya dengan Jae Hyun benar-benar seintens itu. Sampai…hamil? 

Jeno jadi ingat waktu itu Ji Na berulang kali meminta Jeno untuk menghentikan rencana mengajaknya pulang. Jadi, ini alasannya. 

Tatapan Jae Hyun pun jadi agak jengkel menatap Jeno. “Apa sedangkal itu pikiranmu sampai-sampai kau menyimpulkan sepihak perasaanku pada Kakakmu? Yang bahkan kau sendiri tidak kenal siapa aku, Lee Jeno.”

Jeno kehabisan kata-kata. Apa…itu artinya bahwa Jae Hyun benar-benar mencintai Kakaknya? Apa…Jae Hyun bukan ancaman bagi Kakaknya?

“Masuk, Captain. Bantu aku bawa pulang Kakakmu,” sorot mata Jae Hyun kali ini melunak. Ia menatap Jeno penuh harapan. “Kumohon,” ucapnya begitu tulus pada Jeno.

DESIRE : EMOTIONALLY MANIPULATIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang