Tujuh Belas

85 5 3
                                    

Sudah tiga hari sejak panggilan terakhir Ji Na terhadap nomor Ludwig tersambung. Selama tiga hari itu, perasaan Ji Na sungguh campur aduk. Tentu ia gelisah. Harapannya untuk bisa bertemu kembali dengan Ludwig semakin melambung tinggi setelah telepon terakhirnya itu diangkat. Rindunya terhadap Ludwig semakin membuncah dan membuatnya tak sabaran. Tapi, disamping perasaan tak nyaman itu, Ji Na merasakan kelegaan yang luar biasa pada jiwanya. Setidaknya, ia tau bahwa Ludwig masih hidup dan⸺sepertinya⸺baik-baik saja. Kehidupan rungsing Ji Na yang tak tau bagaimana keadaan Ludwig selama bertahun-tahun ini pun akhirnya sirna setelah telepon terakhirnya itu diangkat.

Meskipun, telepon itu menjadi yang pertama dan terakhir kalinya. Karena, setelah hari itu, tak ada lagi telepon yang diangkat meskipun sudah ratusan kali Ji Na mencoba menghubungi nomor Ludwig kembali.

Seperti malam ini, masih di halaman belakang dan paviliun yang sama seperti tiga hari yang lalu. Ji Na berdiam diri dengan ponsel yang sibuk bolak-balik memanggil nomor Ludwig. Hembusan nafasnya terhela berat begitu yang ia terima adalah suara operator.

Di sisi lain, Tae Yong yang mendapati Ji Na akhirnya meletakkan ponselnya dengan lemas ke atas pangkuannya pun ikut menghela nafas. Pria itu memperhatikan Ji Na sejak beberapa waktu yang lalu dari ambang pintu belakang.

"Biasanya Nona Hwang akan masuk ke kamar setelah pukul 9, Tuan Tampan," Bibi Sung menyahut dari arah belakang Tae Yong. Wanita paruh baya itu berusaha menenangkan Tae Yong yang terlihat cukup tegang karena beberapa kali mondar-mandir area tersebut.

Tae Yong pun menoleh ke arah Bibi Sung. "Apa dia masih tidur di kamar Jae Hyun, Bibi?" tanyanya.

Bibi Sung mengangguk sebagai jawaban. "Tuan Jung melarangku untuk membawanya ke kamarnya sendiri yang sudah Anda siapkan. Lagipula, Nona Hwang juga pernah mengatakan padaku kalau ia merasa aman di kamar Tuan Jung. Jadi, kupikir tak masalah."

Tae Yong menghela nafasnya lagi. "Baiklah kalau Ji Na tak keberatan," gumamnya pasrah.

Selepas Bibi Sung mengundurkan diri, Tae Yong akhirnya membawa kakinya melangkah menghampiri Ji Na.

"Tidak dingin, eo?" sahut Tae Yong yang berhasil membuat Ji Na menoleh dan menebar senyum padanya.

Ji Na menjawab dengan gelengan kepala. "Sweater ini tebal sekali. Tak akan ada angin yang bisa masuk," jawabnya dengan canda.

Tae Yong terkekeh pelan sambil mengambil posisi duduk di samping Ji Na. "Aku ingin menghiburmu, tapi aku tidak tau harus apa."

"Aku tidak apa-apa," Ji Na tersenyum. "Hanya sedang merindukan Ayahku."

Tae Yong terdiam. Memandang sendu Ji Na yang menundukkan pandangannya ke bawah.

"A! Kau tau maksudku, Ayahku yang di Berlin," Ji Na mengkoreksi, bermaksud agar Tae Yong tidak salah paham.

Mendengar hal tersebut, Tae Yong terkekeh. "Aku tau. Mr. Ludwig Archard."

"Benar," Ji Na tersenyum sambil mengangguk. "Aku tidak terkejut karena kalian pasti sudah mencari tau semua identitasku. Termasuk Ludwig. Entah bagaimana kabarnya sekarang."

"Dia baik-baik saja, Ji Na."

Ji Na sontak menoleh.

"Maksudku, dia pasti baik-baik saja," koreksi Tae Yong. "Dia adalah mantan anggota khusus militer di Berlin. Dia pasti sangat sanggup untuk sekedar mengamankan diri sendiri."

"Benar juga," Ji Na tersenyum haru. "Dia bahkan sangat mahir memakai senjata api dan bela diri. Dulu, saat aku masih kecil, Ludwig pernah mengajarkanku bela diri. Tapi aku terlalu malas untuk berlatih waktu itu. Jadi, aku sering kabur setiap kali Ludwig mengajakku latihan," wanita itu terkekeh mengenangnya, "Sekarang aku menyesal karena tidak benar-benar mempelajarinya. Andai aku bisa bela diri, setidaknya aku bisa mematahkan satu-persatu leher kalian saat menculikku waktu itu."

DESIRE : EMOTIONALLY MANIPULATIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang