Tiga Puluh Tujuh

78 7 4
                                    

Ji Na, malam ini hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ji Na, malam ini hujan. Cuaca yang biasanya membuatmu tak mau melepaskan pelukanku sama sekali saat tidur. Cuaca yang biasanya membuat kita terjaga lebih lama saat malam, karena kau tidak mau mengabaikan rintik hujan sedikit pun luput dari pandanganmu. Namun, hujanku malam ini sama seperti malam-malam tanpa hujan sebelumnya. Aku tetap terjaga. Meskipun tanpa dirimu, malam ini menjadi malam ke sekian yang membuatku terjaga dan memperhatikan hujan daripada tidur. Aku tak bisa tidur, karena aku tak dapat memelukmu dalam tidur.

Jae Hyun tak pernah tau bahwa ia bisa melakukan dialog dengan dirinya sendiri di dalam hatinya. Ia bicara. Meluapkan apapun yang ia rasakan melalui kata-kata yang ia ucapkan dalam hatinya. Seperti tadi. Saat ia rindu begitu besar terhadap keabsenan Ji Na malam ini. Saat rindu pada Ji Na membuat seluruh saraf pada tubuh Jae Hyun tegang, tak bisa rileks sama sekali untuk sekedar beristirahat; tidur.

Jika dulu, Ji Na yang selalu minta bantuannya untuk bisa tidur nyenyak. Kini, posisi itu Jae Hyun rasakan setiap malam-malam yang harus ia lalui tanpa Ji Na. Ia tak bisa tidur. Tanpa Ji Na, tak ada satu saraf di tubuhnya pun yang bisa rileks dan membuatnya tidur nyenyak. Jae Hyun butuh Ji Na untuk bisa tidur.

Waktu menunjukkan melewati larut malam. Posisi Jae Hyun berdiri di taman belakang rumahnya, memperhatikan rintik hujan yang terasa begitu menenangkan namun gagal menenangkan kerinduannya terhadap Ji Na. Pria itu berdiri dengan gagah, kedua tangannya ia masukkan ke saku celana piyamanya, sementara tubuh kekarnya diselimuti jubah tidurnya yang cukup tebal.

“Sebegitu dahsyat pengaruh kehadiran dirimu, Ji Na,” Jae Hyun bergumam sangat pelan dengan bibir pucatnya yang kering. 

Pengaruh yang Jae Hyun sadari bahwa tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Ji Na untuk melakukan itu. Melakukan apapun. Semua kegiatan yang berkaitan dengan Jae Hyun. Termasuk, bernafas. 

Setiap tarikan oksigen yang masuk dan deru karbondioksida yang keluar oleh Jae Hyun, semuanya bersenyawa dengan Ji Na. Untuk itu, tak heran jika beberapa malam ini, Jae Hyun merasa sebagian nyawanya melayang dari tubuhnya. Tak ada ikatan antara nafas dan jiwanya, kecuali saat Jae Hyun bisa bertemu dan bercumbu rindu dengan Ji Na di ruang ganti sebuah toko tadi siang.

Jae Hyun rindu Ji Na, pada setiap tarikan nafasnya.

Jae Hyun rindu Ji Na, pada setiap sorot matanya di seluruh penjuru rumah ini. 

Jae Hyun rindu Ji Na, pada setiap langkah kakinya. Denyut nadinya. Tabuh jantungnya. Desir darahnya. Merinding kulitnya. Semua rasanya tak bernyawa selama tak bersama Ji Na. 

“Tidak bisa tidur lagi, Tuan Jung?”

Di tengah palung lamunan yang begitu dalam sedang Jae Hyun selami, indera pendengarannya baru bekerja lebih tajam begitu ia mendengar pertanyaan Bodyguard Kim dari arah belakangnya. Suara pria itu diikuti langkah kakinya yang terdengar mendekati Jae Hyun. 

Untuk itu, Jae Hyun berbalik dan mendapati Bodyguard Kim dengan setelan piyama dan dua cangkir minuman yang mengepulkan asap hangat di tangannya. Satu cangkir di tangan kanannya ia sodorkan ke arah Jae Hyun. 

DESIRE : EMOTIONALLY MANIPULATIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang