Dua Puluh Tujuh

133 7 3
                                    

Sudah lewat dari larut malam. Tepatnya, hampir pukul 3 dini hari. Jae Hyun tidak istirahat sama sekali, meskipun ia dan Johnny berada di kelas mewah di pesawat penerbangan Jepang - Korea. Setibanya di rumah, Jae Hyun segera membawa langkah kakinya besar-besar memasuki rumah. Kehadirannya diekori beberapa pelayan di belakangnya, guna membantu keperluan Jae Hyun. 

Sambil melepaskan kemeja yang ia kenakan, pandangan Jae Hyun disebarkan ke dalam rumah; ia mencari Bodyguard Kim yang ditugaskan menjaga Ji Na. 

“Buang kemeja ini atau bakar sekalian. Jangan sampai Ji Na mencium baunya,” titah Jae Hyun sambil menyerahkan kemeja putihnya pada Bibi Sung. Sementara, dibiarkan tubuh bagian atasnya terpampang atletis tanpa pakaian. Karena, ia tak sanggup menemui Ji Na dengan balutan kemeja bau parfum wanita lain. 

“Tuan Jung,” Bodyguard Kim pun tiba. Ia agak berlari menghampiri Jae Hyun dan berdiri di sampingnya. “Nona Hwang berada di ruang kerja Anda sejak sore.”

Jae Hyun mengernyitkan dahi. “Di ruang kerja?” 

Bodyguard Kim mengangguk satu kali. Kemudian, berbisik, “Ia menangis, Tuan.”

Entah apa yang terjadi, entah apa yang Jae Hyun lewatkan dari Ji Na. Yang jelas, informasi singkat dari Bodyguard Kim tersebut langsung membuat Jae Hyun menyerbu langkah menuju ruang kerjanya. Ia meninggalkan para pelayan yang baru akan membantunya mengganti pakaian, demi menghampiri Si Pemilik Kekhawatiran Jae Hyun yang katanya habis menangis. 

CKLEK. 

Jae Hyun berdiri di ambang pintu. Segala gerakan tergesa-gesanya langsung berhenti begitu kedua netra Jae Hyun menangkap sosok Ji Na di atas meja kerjanya. Ia meneliti dalam sunyi. Ia melangkah hampir tanpa suara. Yang Jae Hyun tangkap, ada tumpukan kertas yang tersebar berantakan di atas meja dengan Ji Na yang tertidur pulas menimpanya. Wanita itu menopang kepala dengan lengan kirinya. Ia tertidur sambil memeluk satu bundle kertas bertuliskan Edna Mental Health Foundation di pangkuannya. 

Jemari Jae Hyun bergerak, mengusap kantung mata Ji Na yang sembab dan menghitam. Hembusan nafas pria itu terhela begitu dalam begitu ia mengetahui bekas air mata yang mengering di sekitar pipi Wanitanya. 

“Jadi, kau sudah mengetahui tentang Ludwig,” simpul Jae Hyun tenang. 

Jika itulah alasan dibalik tangisan Ji Na, maka Jae Hyun lega. Pria itu lantas menyandarkan pantatnya ke tepi meja kerjanya. Ia nikmati waktu untuk dirinya sendiri menikmati wajah tidur Ji Na sampai puas. 

“Kau mulai menjadi bagian utama dari tujuan hidupku, Swan,” Jae Hyun bergumam lembut. Selembut jemarinya mengusap wajah Ji Na untuk menenangkan wanita itu dari sisa isak tangis yang masih muncul dalam tidurnya. 

“Kau menjadi pemilik dari tujuan hidup Jung Jae Hyun. Kau pemenangnya, Sayang.”

Bahkan, untuk alasan apapun, Jae Hyun lebih sering mengabaikan tujuan utamanya demi memperhatikan apakah rencana tersebut akan mengganggu Ji Na atau tidak. Termasuk, rencana menyelamatkan Ludwig dari incaran Mafia Code 17. 

Isak Ji Na muncul semakin kuat di sela tidurnya. Isak tangis wanita itu mengusik tidur nyenyak Ji Na, dan itu menyakiti hati Jae Hyun. Aliran air mata Ji Na bahkan muncul, mencair dan membasahi kembali bekas air matanya yang semula mengering. 

“Jeffrey,” 

Ji Na mengigaukan namanya dengan suara paling lirih dan paling menyayat hati Jae Hyun. Wanita itu menangisi namanya meski dalam tidurnya. 

Baby, I’m here,” 

Jae Hyun tak sanggup membuat wanita itu terisak sedih. Ia mengulurkan tangannya, mengusap punggung Ji Na dengan maksud untuk mengganggu tidur wanita itu. Jae Hyun ingin Ji Na terbangun dari mimpi buruknya. 

DESIRE : EMOTIONALLY MANIPULATIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang