Sembilan Belas

96 6 4
                                    

Vote dulu guiiissss

Sudah?

Oke.

Silahkan, 19 nyaaa 😉

*

Bolehkah Ji Na membuat sebuah pengakuan bahwa dampak dari pangkuan Jae Hyun tadi pagi masih berasa begitu dahsyat di dada sampai sore ini?

Seluruh tubuhnya masih merinding setiap kali Ji Na mengingatnya. Setiap sentuhan Jae Hyun pada tubuhnya. Pelukan eratnya. Usapan halusnya. Hembusan nafasnya. Ciuman ringannya di leher Ji Na. Bahkan, tentang bagaimana Jae Hyun menyesap aroma tubuh Ji Na melalui perpotongan lehernya. Semua itu. Semuanya. Tanpa terkecuali, terkenang dalam kepala Ji Na dan membuat bulu kuduknya sontak meremang hebat dalam hitungan detik saat mengingatnya.

"Sial. Apa yang dia lakukan padaku?!"

Ji Na ingin mengamuk. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah memukul kuat-kuat alas sofa yang ia duduki sambil menggerutu kesal. Ia ingin mengabaikan reaksi tubuhnya tersebut. Tapi, kepalanya malah begitu penuh diisi oleh Jae Hyun. Apa ini masuk akal?

"Dia pria yang pemaksa. Otoriter. Galak. Benar-benar seperti seorang monster yang berwujud sebagai pangeran tampan. Ish!"

Setelah satu gerutuan panjang Ji Na mengenai Jae Hyun itu, ia justru semakin penasaran akan keabsenan pria itu di sekitarnya kali ini. Ia memang sudah cukup lama tinggal di sini dan mulai menghafal kebiasaan Jae Hyun yang selalu menghilang di waktu pagi sampai malam hari. Entah untuk bekerja dari ruangannya atau pergi ke luar⸺entah ke mana. Tapi, kali ini, Ji Na tak tau apa yang membuat dirinya bergerak ke kursi roda dan membawanya melaju ke suatu tempat.

Rumah megah itu sungguh semakin terlihat sepi karena hampir seluruh anggotanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan, saking sepinya, suara roda dari kursi roda Ji Na yang melaju menuju halaman belakang pun terdengar menjadi suara yang paling dominan.

Hingga suara kursi rodanya tersebut ditimpa dengan suara nyaring pistol yang saling tumpang tindih.

Ji Na mendapatinya. Sosok Jae Hyun yang berdiri begitu tegap di tengah lapang halaman belakangnya yang sangat luas. Mengenai betapa berkarismanya pria itu saat ia menguasai pistol di tangannya dan membuat pelurunya satu-persatu mengenai papan sasaran.

Semakin dekat jarak yang Ji Na ambil pada Jae Hyun, maka semakin kencang pula debar jantungnya bertabuh. Ia hampir tak habis pikir.

"Pria tampan Si Tukang Pemaksa itu membuat jantungku berdebar terus," gumam Ji Na sangat pelan.

Ini tak masuk akal. Memang.

*

Bola mata Jae Hyun bergerak ke sudut matanya sejenak. Tepatnya, melirik ke arah belakang punggungnya sedikit untuk mengetahui apakah firasatnya benar. Pasalnya tubuh pria itu merespon begitu detail mengenai kehadiran Ji Na. Meskipun wanita itu berada cukup jauh dari tempatnya berdiri, tapi tubuh Jae Hyun sudah mengenali kedatangannya.

Senyum Jae Hyun terangkat miring. Ia puas begitu firasatnya rupanya terjawab akurat. Ji Na datang. Duduk begitu nyaman di kursi rodanya sambil memperhatikan Jae Hyun menembak.

*

DOR!⸺PRANG!

Satu tembakan dilepaskan Jae Hyun persis membuat pelurunya melesat di sisi kepala Ji Na dan berakhir memecahkan sebuah vas tanaman hias di belakang Ji Na.

Jantung Ji Na hampir berhenti selama beberapa detik saking terkejutnya. Wanita itu melotot dengan tubuh yang membeku tak berani bergerak sedikit pun. Hembusan nafasnya sempat tertahan seolah tembakan tersebutlah yang merenggut nafasnya. Ia menatap Jae Hyun yang menunjukkan ekspresi kemenangan dari kejauhan dengan tatapan tak percaya. Jae Hyun benar-benar gila. Apa yang terjadi jika pria itu salah sasaran dan malah mengenai kepala Ji Na, huh?!

DESIRE : EMOTIONALLY MANIPULATIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang