Tujuh Belas

9.1K 768 24
                                    

Dia sudah tiada.

Kakak laki-lakinya sudah tiada.

Seseorang yang membuatnya bertahan sudah tiada.

Jadi sekarang untuk apa dia dihidupkan kembali?

Nana menangis di hadapan piano berwana putih itu, air matanya terus menetes, jemari lentiknya mengusap wajah kakak laki-lakinya, itu memang Nauval, dia memajangkan rambutnya, dia benar-benar kakak laki-lakinya dan dia benar-benar sudah tiada.

Bagaimana ini?

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Sebenernya apa yang terjadi selama 2 tahun ini?

Nana sangat penasaran dengan hal itu.

Tenggelam dalam kesedihan Nana mengurung diri di kamarnya selama beberapa hari, dia tidak keluar untuk melakukan apapun, diam di atas tempat tidur, menatap balkon kamar dengan memori masa lalu yang melintasi di ingatannya dan terjebak di lubang terdalam kesengsaraan.

"Apa yang terjadi?"

Bahkan ketika pria paru baya itu bertanya padanya, Nana tidak bisa berpura-pura baik-baik saja.

Dia kehilangan anggota keluarganya yang berharga.

Nana pikir jika, jika saja Nauval masih hidup, dia bisa menjelaskan situasi yang sebenarnya pada pria itu, dia akan menceritakan semuanya pada orang yang paling ia percayai di dunia, meskipun Nauval adalah pria yang selalu menganggap semua sebagai bahan bercandaan, ada kalanya pria dengan mata almond itu menjadi serius dan memberikan beberapa solusi kehidupan pada Nana.

"Lo jadi gini bukan karena kabar yang disampaikan Cancer kan?" tanya Aries, cukup sudah emosinya tidak bisa ditahan lagi, selama Leona mengurung diri di kamar selama itu juga lah Papanya menyalahkan dirinya sendiri.

Nana tidak menjawab, bahkan untuk bunuh diri saja ia tidak bisa.

Terlalu banyak mata disini, bahkan di kamarnya ini dipasang CCTV pendeteksi suhu tubuh, balkon juga dikunci oleh Aries sejak Nana keluar dari rumah sakit, wanita itu takut akan terjadi sesuatu yang mengerikan jika ia membiarkan pintu balkon terbuka.

"Leona Agustine Lewis!"

Nana tersentak, dia menatap Aries yang sedang menatapnya tajam.

"Lo kenapa? Merasa bersalah? Untuk apa? Karena sejak awal dia tidak akan mati jika lo engga bunuh adiknya, rasa bersalah lo itu engga ada gunanya, daripada lo gini terus, lebih baik tebus dosa lo, buat banyak kebaikan, merasa bersalah terus mau sampai kapan?! Sampai lo mati? Terus lo engga bisa hidup bahagia gitu?!"

"Lo engga ngerti!" seru Nana, dia marah karena Aries menyudutkan dirinya. "Lo engga tahu rasanya! Engga tahu! Lo engga paham situasinya, Aries diamlah, tidak semua logika tentang orang lain di kepala lo itu benar." Aries terlalu percaya diri dengan pemikirannya, dia tidak paham.

"Kalau memang engga benar, cerita, katakan pada orang lain, gue engga berharap lo cerita sama gue, banyak orang disekitar lo kan? Sahabat lo? Pria-pria tampan itu? Lo bisa cerita dan cari solusinya, masalah engga akan selesai kalau lo terpuruk dan berpikir dengan satu kepala."

Nana terdiam, dia mengalihkan pandangannya dari wanita itu.

"Papa jatuh sakit karena mikirin lo, ayolah Leona, Papa udah 60 tahun, tolong, tolong, tolong banget, jangan buat dia khawatir, udah cukup dia merasa bersalah karena membesarkan lo tanpa perhatian dan Mama."

"Jangan buat dia merasa bersalah karena gagal didik lo."

Nana tertawa miris, dia mentertawakan Leona asli. "Sejak awal dia udah salah didik." lirihnya.

Leona (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang