28. Surat Permainan

58 12 1
                                    


°°°°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°°

Sebenarnya rasa

Cemas, khawatir, dan takut, sangat beriringan bagi gue. Semoga kalian nggak benci gue setelah semua terbongkar.


~Mateo Devendra~


°°°°

🍁🍁🍁

Malam ini Sagara sudah rapi dengan baju casualnya. Ia sekarang mencari keberadaan Rey, Saga menuruni tangga menuju ruang keluarga. Kali ini ia ingin mengajak adiknya keluar, kapan lagi ya kan bisa ngajak Rey keluar.

"REY?!" Panggilnya namun tidak ada jawaban.

"REY? DIMANA SIH LO?" Sudah ia cari kemana-mana tapi tidak muncul juga keberadaan adiknya.

Ia memutuskan kembali ke lantai atas mencari keberadaan Rey di kamarnya. Saga mengetuk pintu kamar Rey hingga sosok yang ia cari akhirnya muncul juga.

"Ck. Gue cari juga."

"Apa?!" Tanya Rey ketus.

"Yok, ikut gue balapan." Ajak Saga.

"Balap liar? Ogah lo aja." Balas Rey.

"Sekali-kali Rey, lo kan udah sering tuh balap resmi, sekarang ganti balap liar. Mau ya."

"Nggak."

"Rey?!"

"Apa sih? Gue bilang nggak ya nggak, udah sana lo pergi. Ganggu orang lagi rebahan aja!"

Rey menutup pintu kamarnya tanpa perduli dengan Saga yang menatap sendu pintu kamarnya. Masih saja keras kepala, padahal sudah banyak cara agar Rey bisa akrab dengan Saga. Tapi nyatanya Rey tetaplah Rey yang kokoh dengan pendiriannya.

🍂🍂🍂

Seorang gadis tengah berkemas, malam ini cukup larut untuk ia pulang. Jika bukan karena paksaan gadis ini tidak mau berlama-lama menghadap komputer dan tumpukan kertas, sangat memuakkan. Lihatlah, setegas dan sekeras apapun ayahnya, gadis ini tetap saja tidak tega dengan ayahnya, begitu juga pria yang di bencinya itu masih orang tuanya.

Vio, gadis itu keluar dari kantor sang ayah cukup larut. Sekarang ia ingin cepat kembali ke apartemennya. Memang setelah ibunya meninggal Vio lebih sering tinggal di apartemen dari pada satu rumah dengan ayahnya.

Bunyi telepon berdering, membuat Vio menghentikan aktivitasnya menaiki motor. Tertera nama ayahnya di sana. Tentu dengan rasa malas ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel itu di telinganya.

"Masih pukul sembilan malam, saya minta kamu pulang ke rumah. Ada yang mau saya bicarakan."

Mendengar suara di sebrang telepon Vio pun merotasi kan matanya.

Still With Wounds (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang