Bab 1

16.1K 751 39
                                    

"Aku bersumpah, kalau aku sudah punya cukup uang aku akan pergi dari kota menyebalkan ini!" Sophie mengetukkan jarinya kesal di meja. Rhea, temannya menyajikan secangkir kopi dengan susu untuknya.

"Kenapa lagi kali ini? Apakah bibimu merundungmu lagi?"

"Lebih buruk! Seseorang mencoba merayuku untuk tidur dengan mereka,"

"Lagi? Itu sudah keempat kalinya bulan ini. Kau sangat populer ya?" Rhea tertawa, merasa itu lucu walaupun jelas Sophie kesal karenanya.

"Maksudku, memang sih penampilanku lusuh. Tapi aku juga seorang Lady! Lebih baik aku mati kelaparan daripada menjadi pelacur!"

Rhea tidak segera merespon. Dia menggeser beberapa keping uang di meja ke arah sophie.

"Ini bayaranmu untuk minggu ini. Saranku adalah, beli pakaian baru agar para pria bejat itu tidak berpikir kau gadis miskin yang bersedia menjual tubuh demi uang,"

Sophie mengambil uang itu, menghitungnya cepat kemudian menyimpannya. Dia menggeleng.

"Aku akan gunakan uang ini untuk hal yang lebih berguna. Lagipula kurasa itu akan sia-sia. Mereka tetap akan membujukku untuk menjual diri. Astaga! Memangnya mereka tidak bisa merayu gadis lain saja? Apa karena aku terlihat paling miskin daripada gadis lain?" Sophie menggerutu sambil mengaduk kopinya.

'Itu karena kamu jauh lebih cantik daripada semua gadis di desa ini dijadikan satu,' pikir Rhea. Tapi dia tidak mengungkapnya. Sophie agak aneh. Dia seolah tidak pernah bercermin. Dia tidak pernah merasa cantik walaupun banyak yang mengatakannya. Dia pikir, semua pria yang mengejarnya hanya ingin tidur dengannya karena dia miskin dan terlihat mudah dibujuk.

Itu juga akibat doktrin keluarganya yang terus berusaha menurunkan rasa percaya dirinya. Mereka selalu mengatakan kalau sophie lusuh, tidak menarik, bau dan ejekan lainnya.

Kalau ada yang sophie anggap istimewa dari dirinya adalah dia punya hidung yang bagus.

Layaknya anjing gembala, Sophie punya penciuman tajam. Tentu saja itu bukan berarti dia bisa mencium bau dari jarak ratusan meter. Apalagi melacak kaus kaki yang hilang dengan hidungnya. Sebagai contoh, sophie bisa menebak bumbu masakan dengan hidung dan indera pengecapnya. Dia juga bisa tahu apakah roti dan anggur yang baru dibelinya dari pasar masih cukup segar dan bagus?

Sebagian besar kemampuannya terasah berkat hidupnya yang keras. Dia tidak jarang harus menginap di kandang kuda karena bibinya yang menyuruh. Bibi Maya sangat tunduk kepada suaminya, dia tidak berani meninggikan suaranya. Ketika paman Ernie mengacau, berjudi atau pulang ke rumah dalam keadaan mabuk— bibi Maya tidak akan memarahinya.

Bibi Maya selalu melampiaskan rasa marahnya pada Sophie, putri dari adiknya yang terpaksa harus dia rawat sejak belasan tahun lalu. Tidak hanya dipaksa puasa dan tidur di kandang kuda. Sophie juga harus bekerja sampai subuh di peternakan. Sophie tidak pernah membantah apalagi protes. Karena dulu sophie sadar dia tidak punya siapapun selain paman dan bibinya.

Karena sering tinggal di kandang, Sophie jadi terbiasa dengan bau kencing kuda, kotoran tikus dan jerami yang membusuk karena udara lembab musim panas. Mungkin kondisi itu membuat penciumannya lebih tajam.

Sebenarnya, sophie tidak sendirian menerima perlakuan itu. Dia punya seorang kakak. Namanya Roran. Dia pemuda yang kini berusia sembilan belas tahun. Roran bertubuh tinggi, di atas rata-rata pemuda seusianya. Tapi dia kurus, karena sejak kecil kurang makan. Bahkan tulang selangka bahunya terlihat jelas. Matanya pun cekung. Walaupun begitu, dia dilahirkan dengan paras tampan dan rambut cokelat terang yang menawan. Jadi, entah bagaimana, walaupun kerja kasar setiap hari, Roran terlihat seperti punya darah ningrat.

Taming The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang