"Apa karena putri sophie terlalu pintar karena itu dia menjadi sakit jiwa?"
"Orang tuaku bilang, wanita yang terlalu pintar biasanya punya masalah di otaknya,"
Sophie punya penciuman bagus. Tapi pendengarannya juga cukup kuat. Dia biasa memasang wajah datar setiap kali omongan seperti itu terdengar. Sophie tidak peduli. Dulu dia memang peduli, tapi sekarang dia tidak mau memikirkannya.
Sophie, adalah satu-satunya mahasiswi kedokteran di tahun pertama. Hanya mereka yang memiliki otak paling cemerlang di angkatan yang bisa diterima di fakultas kedokteran Grandital. Itu artinya, Sophie sudah dianggap cerdas. Tidak hanya itu. Usianya baru delapan belas tahun tapi dia sedang dipersiapkan untuk naik tingkat. Kini dia bukan hanya dianggap cerdas, tapi juga jenius.
Media Anatoille masih kerap memberitakannya. Tapi, seorang putri yang genius hanya akan menimbulkan banyak pertanyaan. Itu tidak biasa. Media kini sibuk menganalisis bagaimana sang putri bisa didiagnosis mengalami gangguan jiwa ringan. Mereka menduga kuat kalau kecerdasannya lah yang bersalah. Di Anatoille, menjadi jenius bukan hal yang istimewa. Menjadi jenius hanya berguna bagi mereka yang lahir di kalangan bawah. Mereka tidak punya apapun yang bisa ditawarkan selain otak dan tenaga mereka.
Jadi, ketika dunia tahu putri sophie kini ingin menjadi dokter dengan status ningratnya, masyarakat sulit menerimanya. Banyak yang mereka pikirkan. Seperti; Bagaimana para bangsawan lain harus berinteraksi dengannya?
Mereka hanya tahu soal merajut, gaun mewah serta perhiasan. Sophia tidak tertarik akan hal-hal seperti itu. Sophie tidak selalu membahas sains. Dia malah lebih suka dengan bahasan isu politik. Para gadis bangsawan tanpa sadar akan menghindarinya. Padahal, sophie juga suka membahas hal ringan. Seperti novel- novel ringan atau berkebun.
Tapi, sophie sudah memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri. Dia ingin memanfaatkan otak dan statusnya sebagai putri untuk kebaikan. Demi itu, dia bahkan membuang peluang berkeluarga di masa depan. Dia tidak bersedia menjadi duchess. Walah dia tahu mungkin dia akan melajang seumur hidup.
Sigmar D'Artagnan menepuk bahunya, tersenyum kepada Sophie yang kini memeluk setumpuk modul di tangannya. Sigmar merasakan kegelisahan sang putri.
"Kau baik-baik saja, menurutku kau keren," sigmar berkomentar.
"Aku tahu," sophie memaksa bersikap percaya diri.
Tapi, rasa tidak nyaman belakangan melingkupinya. Benarkah keputusannya? Apakah tidak lebih baik dia hidup sebagai duchess dan ningrat biasa seumur hidupnya? Karena ternyata. Sophie tidak terlalu puas dengan hidupnya saat ini.
"Tapi aku sedikit kesal karena mereka bilang tidak akan ada yang mau menikahiku lagi. Memangnya, menjadi pintar itu sebuah dosa?" Sophie merasa kesal.
"Kenapa aku harus memaksa melakukan hal yang tidak sesuai nuraniku demi memuaskan standar mereka? Dan buruknya lagi, aku tetap berharap mendapatkan pengakuan orang-orang," Keluh sophie emosional.
"Aku bersedia menikahimu, kau keren. Aku benci wanita yang membosankan," Sigmar menepuk kepala sophie.
"Yang benar saja? Aku mau menua bersama suamiku nanti," Sophie menanggapi ketus.
"Ah, kau sudah tahu? Ya kau cerdas. Tidak mungkin kau tidak tahu," Sigmar tertawa. Dia mengacak-acak rambut sang putri dengan akrab.
Sigmar dan sophie tidak segan menunjukkan keakraban mereka. Interaksi mereka seperti kakak beradik tapi semua orang tahu mereka tidak punya hubungan darah. Sophie tidak merasa melakukan hal yang salah. Tapi, masyarakat tidak berpikir begitu. Roran, awalnya mengusulkan mereka berteman. Untuk memudahkan niatnya memisahkan Sophie dan Thaddeus. Tapi, kini setelah mereka sudah berpisah, sigmar tetap berteman dengan sophie. Roran kini merasa terancam dengan hal lain. Sigmar sepertinya tertarik pada sophie. Dia tidak menyetujuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taming The Villain Duke
RomanceWarning Red Flag ML Slow Burn 18+ Sophie pikir, dia akan mendapatkan akhir bahagia. Setelah belasan tahun hidup layaknya pelayan di rumah bibinya, sophie menerima kejutan kalau dirinya adalah seorang putri. Kakaknya menjadi putra mahkota dan dirinya...