"Apakah anda membutuhkan sesuatu, yang mulia?" Mary, asisten berkacamata Sophie yang kompeten bertanya. Dia seperti german sepherd penurut yang protektif terhadap sophie. Dia peka dengan perubahan mood serta ekspresi sophie dan kepekaannya nyaris membuat sophie takut.
Mary punya tugas utama, yaitu melindungi sophia. Dia tidak peduli apapun yang sophie lakukan selama itu tidak membahayakan dirinya. Dia tahu semua jadwal sophie termasuk pertemuan- pertemuan rahasianya dengan Sigmar belakangan ini. Mary tidak akan banyak bertanya apalagi mengadu, asalkan dia masih diizinkan mengawal sophie.
Mary adalah gadis bertubuh mungil dengan tatapan bersemangat. Rambutnya merah nyaris seperti daun maple di musim gugur. Dia sangat lincah dan punya kemampuan bela diri. Mary adalah bagian dari prajurit kerajaan yang kini sudah bersumpah setia kepada sang putri. Mary bahkan ikut berkuliah di grandital agar bisa terus bersama sophie.
Mary tentunya sadar ketika Sophie menunjukkan perubahan ekspresi seolah dia gusar akan sesuatu.
"Bukan apa-apa, Mary, aku baik-baik saja. Sana berbaur dengan yang lain, kau kan juga mahasiswi di sini," sophie menasihati. Tentunya dia lelah terus diikuti seperti itu.
"Tidak akan ada yang membunuhku tiba-tiba. Memangnya apa untungnya?" Tambah sophie lagi.
"Ini pekerjaanku, yang mulia. Tidak perlu memikirkan saya," kata Mary serius sambil membenahi kacamatanya.
"Aku perintahkan kau bersenang-senang di sini, Mary," kata sophie bertitah.
"Ugh, baiklah," Mary terdengar enggan, tapi dia sudah mengawasi sepertinya situasi aman bagi sophie.
Mary pun menjauh, mencoba bicara dengan beberapa mahasiswa lain tapi matanya masih sesekali melihat sophie.
"Di manapun kita berada, selalu ada karya seni, semua yang indah adalah seni. Nah, kita sudah jauh-jauh mengunjungi midgetown, bisa sampaikan pada saya, keindahan apa yang memiliki nilai seni di sini?" Pengajar mereka, seorang pria paruh baya yang gagah bertanya. Wajahnya tampak ramah seolah tidak punya beban.
Mahasiswa dikumpulkan di alun-alun untuk mendengarkan materi. Termasuk sophie yang sudah siap dengan buku sketsa dan pensil.
"Seperti tanaman morning glory yang merambat di pagar?" Seseorang menjawab.
"Bagaimana dengan keramik di bawah kaki kita yang tersusun simetris? Itu sebuah karya seni!" Sahut mahasiswa lain.
"Orang-orang kerdil dengan pita oranye di kerah mereka! Bukankah itu seni?" Kali ini ada yang menyahut sarkastik.
Sophie mengernyitkan dahi. Seni adalah hal yang abstrak. Bagi seseorang sebuah karya dan keindahan adalah seni. Tapi bagi orang lain belum tentu seperti itu. Semua yang ada di midgetown indah tapi apakah semua bisa disebut sebagai karya seni?
"Itu terlalu abstrak, sir. Seni adalah sebuah karya, sesuatu yang diciptakan dengan maksud sebagai karya seni. Artinya, yang berhak menyebut itu sebagai karya seni adalah orang yang membuatnya. Hal random, atau tanaman yang mekar sempurna bukan karya seni," Sophie melontarkan kritiknya.
"Ah, mungkin perkataan sang putri ada benarnya, tapi tidak selalu seperti itu. Apakah kau pernah mendengar sebuah gagang pintu yang diukir laku puluhan ribu krom di pelelangan? Padahal pembuatnya tidak bermaksud membuat karya seni," pengajar itu tersenyum.
"Ketika seorang ilmuwan menciptakan bubuk mesiu tanpa sengaja, bukan berarti benda itu kehilangan status saintifiknya. Begitupun juga dengan karya seni. Ketika sebuah benda dianggap indah dan bernilai, siapapun bisa menyebutnya sebagai karya seni,"
"Tapi seni adalah sesuatu yang sulit diukur," Sophie menanggapi.
"Ya, persepsi setiap orang berbeda-beda. Karena itulah ada kurator seni di dunia ini. Mereka akan menilai sebuah karya, membandingkannya, merumuskan kelebihan serta kekurangannya sampai akhirnya didapatkan nilai yang sesuai," Pengajar itu menjelaskan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taming The Villain Duke
RomansaWarning Red Flag ML Slow Burn 18+ Sophie pikir, dia akan mendapatkan akhir bahagia. Setelah belasan tahun hidup layaknya pelayan di rumah bibinya, sophie menerima kejutan kalau dirinya adalah seorang putri. Kakaknya menjadi putra mahkota dan dirinya...