Masih malam, Sophie bahkan belum sempat makan. Tapi kalau duke Thaddeus memintanya datang dia tidak punya hak untuk menolak. Kontrak itu telah menghapuskan beberapa hak dasar dia sebagai seorang bangsawan. Tapi sophie tidak punya pilihan lain. Saat ini dia memutuskan untuk mengikuti saran Roran dan orang-orang di sekitarnya.
Dia harus berhenti bersikap keras kepala. Tidak ada gunanya terang-terangan memusuhinya. Apalagi kalau dia akan menjadi suaminya di masa depan. Usia sophie yang masih terlalu belia telah membuatnya kurang bijak. Dia tidak bisa selalu menunjukkan emosinya. Apalagi mengajaknya perang setiap saat.
Dia kini berada di ruang tamu mansion sang duke. Ruang itu memiliki pencahayaan temaram, dari kumbang api yang dipelihara di sebuah kotak kaca yang ada di sudut ruangan. Kumbang-kumbang itu tampak sehat, cahaya mereka mendamaikan mata. Seperti rumah thaddeus di Wysterina dulu, rumah ini dipenuhi lukisan dan patung seni. Sophie bisa menilai kalau lukisan-lukisan yang ada di mansionnya saat ini mungkin lebih langka dan mahal daripada yang ada di Wysterina.
Sophie sudah lebih dari setengah jam di ruangan itu. Dia duduk di sofa, dan disajikan secangkir kopi dan kue krim. Dia sudah menghabiskannya setengah karena lapar. Dia tidak bisa menghabiskan semuanya karena itu terkesan tidak elegan dan membuatnya terlihat rakus.
Tidak ada siapapun yang menyambutnya selain seorang pelayan paruh baya yang bicaranya lambat. Dia tidak terlalu ramah, dan sebenarnya sedikit aneh kenapa tidak ada siapapun yang punya jabatan penting di rumah itu menyapanya. Bagaimanapun dia tetap seorang putri dan calon duchess di masa depan.
Bosan, sophie berjalan berkeliling ruangan. Melihat satu persatu karya seni yang ada dan mengagumi desain ruangan, relung jendela serta gordyn yang melambai lembut berbahan satin.
Ketika Sophie melihat cermin persegi besar di sudut ruangan, dia juga mematut dirinya. Karena terburu-buru, dia tidak sempat berdandan. Dia mengenakan gaun jingga pastel dan sepatu putih. Gaunnya memiliki renda tapi tidak mengembang seperti gaun biasa. Sophie ingin memastikan, apakah dia terlihat seperti anak-anak? Seharusnya tidak. Dulu Abigail suka mengejeknya, bilang dia penggoda atau semacamnya. Hanya karena kebetulan sophie punya lekuk tubuh yang lebih berkembang dibandingkan teman remaja sebayanya.
Sophie benci kalau ada kaum pria yang menilainya dari tubuhnya. Itu pelecehan. Tapi seharusnya thaddeus tidak punya hak menyebutnya gadis kecil. Mengingatnya sekali lagi, dia jadi kesal. Tapi tekadnya untuk bersikap anggun berhasil menahannya.
Sophie mungkin sibuk belakangan ini dan tidak benar-benar memperhatikan penampilannya. Tapi hampir tiga bulan menjadi seorang putri, sophie bisa dengan percaya diri berpikir kalau dia lebih cantik.
Para pelayan istana memandikannya dengan air bercampur susu dan madu, serta memijat kulitnya dengan minyak zaitun. Rambutnya juga dicelup dengan ramuan zaitun sehingga setiap helainya berkilau tidak kusut. Kulitnya lebih cerah dan lembab. Segala sel kulit mati dan kusam sudah menghilang dari dirinya. Walau tanpa make up, pipinya merona dan bibirnya juga memiliki warna merah natural karena pelayan istana selalu menyajikan buah beri sebagai sarapan.
Sophie masih asyik membenahi dan menyisiri rambutnya sendiri dengan tangannya, tanpa sadar kalau ada orang lain yang mengawasinya. Dari balkon lantai dua, Thaddeus memandang tunangannya dengan ekspresi datar.
"Your grace, kami sudah menyiapkan makan malam untuk tuan putri Sophia. Apakah anda juga ingin makan bersama?" Carl, salah satu asistennya bertanya.
"Kurasa dia mulai bersikap rasional, Carl," thaddeus tidak menanggapi.
"Bagaimana maksud anda?"
"Kukira dia akan memasuki rumah ini dengan gayanya yang keras kepala, protes atau marah," kata Thaddeus lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taming The Villain Duke
RomanceWarning Red Flag ML Slow Burn 18+ Sophie pikir, dia akan mendapatkan akhir bahagia. Setelah belasan tahun hidup layaknya pelayan di rumah bibinya, sophie menerima kejutan kalau dirinya adalah seorang putri. Kakaknya menjadi putra mahkota dan dirinya...