"Ayo pulang," kata Thaddeus sedikit geram sambil menggamit lengan istri jelitanya. Ketika itu sophie baru saja menjemur seprai putih terakhir yang dia cuci. Dia menggulung lengan bajunya dan merasa lelah tapi tatapan matanya berbinar.
"Suamiku, sudah selesai menggarap ladangnya?"
"Sudah, kau sudah puas kan?"
"Belum cukup, nyonya di sana tidak mungkin bisa menanam benih jagungnya sendiri. Dia terkena rematik tulang belakang, sulit membungkuk," Sophie menggeleng, menikmati ekspresi frustrasi sang duke.
"Kalau begitu caranya sampai kapanpun dia akan butuh bantuan orang lain! Seharusnya dia menyerah dan hidup bantuan dari biara saja!" Sergah thaddeus tidak sabar.
"Eh, jangan bicara jahat begitu, memangnya semua orang mau hidup sebagai penerima bantuan? Semua keluarga di sini punya harga diri tinggi. Mereka tetap bekerja, walaupun penghasilan tidak selalu cukup. Jangan khawatir, ini karena sedang gagal panen saja. Biasanya hidup mereka tidak seperti ini," Sophie mengebas debu dari gaun sederhananya.
"Kau itu duchess, sophia. Kalau ada yang tahu kau melakukan pekerjaan seperti ini—"
Sophie menghadapi thaddeus, mengalungkan lengannya di lehernya. Bertopang pada bahu suaminya yang kokoh. Dia menatap thaddeus dan tersenyum.
"Memangnya kenapa? Apakah seorang bangsawan yang mencuci seprai itu salah?"
"Mereka bisa menganggapku suami yang jahat, membiarkanmu melakukan hal seperti ini. Kau bisa beramal uang sebanyak apapun ke desa ini, kau tidak perlu sampai ikut mencuci seprai atau menggarap ladang. Itu tidak terhormat,"
"Ya, tentu saja aku akan menyumbang uang ke sini. Tapi, apa serunya? Berbulan madu di resort, bersantai seharian dan bergaul dengan para orang kaya itu membosankan. Aku sudah mendapatkan fasilitas terbaik setiap harinya kan?"
Sophie melepaskan pelukannya, berjalan dengan mata melihat ke arah desa.
"Ngomong-ngomong apa kau menyumbang uang ke sini? Desa ini berada dalam wilayah kekuasaanmu kan? Kau harus membantu ketika warga kena gagal panen atau semacamnya," Sophie bertanya.
"Tentu saja, aku ingat sudah mengirimkan banyak uang. Aku tahu kalau wilayah sekitar sini mengalami gagal panen. Dan asal kau tahu saja, aku tidak mengambil pajak dari desa-desa seperti ini,"
"Kenapa kau memberitahu itu kepadaku?"
"Karena aku tahu di otakmu kau berpikir kalau aku duke gila harta dan tidak punya perasaan. Baiklah, aku bukannya berempati dengan mereka, tapi aku enggan memungut pajak dengan jumlah kecil. Selain itu, kekayaan dukedom caleigh didapatkan dari bisnis," Thaddeus menunjuk kening istrinya.
"Jadi, apa kau sudah puas? Bisa kita kembali ke resort sekarang?"
"Tidak," sophie menggeleng.
"Aku mau tetap di sini, sampai aku bosan,"
"Perempuan keras kepala! Semakin lama kita di sini, semakin besar kemungkinan identitas kita ketahuan. Sudah cukup! Aku akan kembali ke resort! Aku tidak peduli dengan ancaman bodohmu! Sejak awal seharusnya aku tidak setuju!" Thaddeus melangkah pergi dengan langkah gusar.
Sophie tahu kalau itu hanya gertakan. Thaddeus seorang gentleman. Dia tidak akan membiarkan wanitanya sendirian di wilayah asing. Setidak suka apapun dia dengan keputusan istrinya, dia tidak akan mengabaikannya. Seandainya thaddeus mau terbebas dari desa itu, dia akan menyeret paksa sophie pergi. Tapi dia tidak melakukannya.
"Tunggu sebentar lagi, oke? Kepala biara bilang utusan duke akan datang. Aku ingin tahu apakah mereka mendapatkan benih baru untuk musim ini? Kalau tidak aku akan mengingatnya dan mengirim kekurangannya," kata Sophie lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taming The Villain Duke
RomanceWarning Red Flag ML Slow Burn 18+ Sophie pikir, dia akan mendapatkan akhir bahagia. Setelah belasan tahun hidup layaknya pelayan di rumah bibinya, sophie menerima kejutan kalau dirinya adalah seorang putri. Kakaknya menjadi putra mahkota dan dirinya...