Sophie sudah terlambat mengikuti ujian masuk gelombang pertama. Dia hanya punya satu harapan lagi, dia harus berhasil pada ujian masuk universitas Grandital di gelombang ke dua. Waktunya kurang dari dua minggu lagi. Belajar bersama para gurunya di istana tidak terlalu membantu, karena mereka tidak pernah punya persiapan kalau-kalau tuan putri mereka akan ikut ujian.
Hampir tidak ada dalam sejarah seorang putri masuk universitas. Karena mereka semua sudah menikah sebelum berusia delapan belas tahun.
Berbekal beberapa materi dari Johann, Sophie membawanya pulang ke mansion Caleigh dan langsung masuk ke ruang belajar yang juga bagian dari perpustakaan. Di ruang belajar, ada sofa yang nyaman, meja yang dipenuhi cemilan kue kering serta kopi untuk menambah konsentrasi. Nuansanya temaram, dengan penerangan beberapa ekor kumbang api yang sedikit gemuk karena pakan yang bagus.
Sophie sudah belajar sendirian selama tiga hari, dan di hari keempat, ada hal yang tidak biasa terjadi di ruang belajar. Sang Duke, tertidur di sofa dengan wajah damai. Sebuah buku dengan topik ringan terbuka dan tertelungkup di atas dadanya.
Sophie sempat ragu, berpikir untuk menunda belajarnya. Tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk tidak peduli. Tidak ada yang melarangnya berada di ruangan yang sama dengan sang duke. Tidak akan ada yang akan menghukumnya.
Sophie pun menarik kursi, menumpuk buku bertema sejarah di depan matanya serta menyiapkan kertas dan pena. Dia akan mencatat hal-hal yang penting berupa rangkuman untuk dia baca ulang. Tangannya sudah pegal, jemarinya terasa kaku. Tapi mencatat membuatnya menghafal lebih mudah.
Di sela-sela kepenatan, Sophie melirik ke arah sang duke. Dia tidur sangat nyenyak, sophie kira sang duke hanya tidur ketika larut. Sang duke mendengkur pelan. Bahkan cara tidurnya pun elegan. Rambutnya masih tertata dan kulitnya terlihat segar.
Sophie tidak bisa tidak mengakui, thaddeus pria yang tampan. Dia punya mata paling bagus dari semua pria yang pernah Sophie kenal. Suaranya dalam dan tenang terasa nyaman didengar, bahkan walau dia sedang berkata hal yang sarkastik terhadap sophie. Bibirnya tipis cerah dan dia memiliki bentuk hidung yang sempurna. Intinya dia menyenangkan untuk dilihat, asalkan dia tidak membuka mulutnya, dan berkata hal-hal yang merusak harinya.
Lagipula, bagaimana bisa seorang duke tidur santai seperti itu? Ini belum terlalu malam. Bukankah penguasa daerah yang luas seperti dia punya banyak pekerjaan? Tapi mungkin itu karena dia punya banyak asisten yang kompeten menggantikan pekerjaannya. Seperti Carl, juga Andrei.
Dan Elena, yang ini sedikit berbeda. Gadis malang dengan mata berbinar itu adalah korban manipulasi sang duke. Elena bertanggung jawab mencatat dan merapihkan laporan keuangan dukedom caleigh, pekerjaan yang biasa dilakukan akuntan dengan harga mahal. Mungkin duke thaddeus juga membayarnya, tapi menurut Sophie, gadis itu seharusnya bisa mendapatkan kepastian masa depan. Seperti menikah dengan pria baik, atau setidaknya jenjang karir yang cemerlang.
Elena adalah perempuan, dan setiap perempuan punya jam biologisnya sendiri. Terutama bagi gadis-gadis bangsawan yang sering menjadi korban dalam perebutan gelar. Rahim mereka diracuni, dan tidak akan dilirik pria sebagai calon istri begitu mereka sudah melewati umur tertentu.
Itu juga menjadi alasan kenapa Sophie bersikeras berkuliah sebelum usianya delapan belas tahun. Kalau tidak sekarang, mungkin dia tidak lagi punya kesempatan.
"Your grace, anda di sini?" Carl mengetuk pintu.
"Masuklah, sir Carl," sahut Sophie.
"Oh, tuan putri, kau juga di sini?" Katanya begitu membuka pintu.
"Aku setiap petang selalu di sini, sir, bukankah kau tahu?" Sophie berhenti menulis, tersenyum kepadanya.
"Ya, tapi ada tuan duke di sini," Carl bicara agak pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taming The Villain Duke
RomanceWarning Red Flag ML Slow Burn 18+ Sophie pikir, dia akan mendapatkan akhir bahagia. Setelah belasan tahun hidup layaknya pelayan di rumah bibinya, sophie menerima kejutan kalau dirinya adalah seorang putri. Kakaknya menjadi putra mahkota dan dirinya...