8

1.6K 318 90
                                    

Hehehe. Udah baca sebagian kan ya kmrin. Wkwkwk kepencet sayyy😆

🌺🌺🌺

Petang itu Omar tinggal lebih lama—biasanya setelah magrib ia pulang sedangkan toko tutup jam delapan malam—di toko untuk memeriksa laporan keuangan serta ketersediaan barang. Ia tidak sendiri ada Ardi dan Beni. Pemeriksaan ini rutin ia lakukan setiap akhir bulan. Tidak hanya memeriksa laporan saja, mereka juga berbincang-bincang ringan hingga serius, termasuk upaya seperti apa yang akan dilakukan untuk menarik lebih banyak pengunjung agar membeli barang di toko miliknya.

"Beras harganya makin nggak karuan aja," komentar Omar saat membaca informasi dari pabrik tempatnya membeli. "Gula juga tapi untungnya minyak mulai turun biar sedikit." Ia mengambil cangkir hitam berisi kopi panas. "Kasihan ini kalo orang punya hajat, biaya bengkak."

"Iya, Pak. Tapi gimana lagi, banyak negara nahan ekspor sedangkan kita kalo nggak makan nasi katanya belum makan, jadi ya mau nggak mau ya kudu mau," sahut Ardi yang berada di seberang Omar. "Kita jual di bawah harga 65 ribu aja udah termasuk paling murah lho dengan kualitas berasnya ok."

Omar menyetujui ucapan Ardi. Memang banyak faktor mempengaruhi kenaikan harga bahan pangan dan selalu menjadi polemik. Terkadang pula disangkut pautkan dengan politik walaupun hal itu tak sepenuhnya salah.

"Om, kata Pak Alson kemarin deal harga," ujar Beni setelah meletakkan ponselnya sehabis menerima telepon. "Jadi potongan berapa?"

"Iya. Promonya diskon 250 perak tapi aku tawar 500," jawab Omar. "Sebenarnya agak mikir-mikir juga sih ambilnya, soalnya di pasar-pasar tradisional udah banyak OP dari pemerintah."

"Tapi kayaknya nggak ngefek banyak, Pak. Kemarin saya ndak sengaja dengar ibu-ibu pas belanja, berasnya apek terus mangkak (warna beras agak kuning bukan yang krem bersih atau putih seperti pada umumnya)," timpa Ardi.

"Iya. Soalnya ibu-ibu sekarang ini sekalian ambil yang premium karena beras e bagus dan pulen, andai makan pake tempe doang asal berasnya enak, dah cukup," sambung Beni. Pria itu merenggang badannya untuk mengurai ketegangan ototnya. "Om, aku cabut duluan. Emak telpon terus. Aku lupa kalo beliau minta anterin ke klinik."

Pria itu mengiakan. "Hati-hati." Omar pun beranjak dari kursi, ia kembali duduk di balik meja kerja. "Di, kalo mau duluan nggak apa-apa. Kuncinya taruh sini. Pak Syamsul juga bilangin kalo mau pulang duluan nggak apa-apa."

"Baik, Pak."

Untuk beberapa saat Omar fokus di depan laptop. Bukan untuk memeriksa laporan keuangan tapi mencari-cari model rumah untuk guest house-nya yang sedang ia persiapkan pembangunannya. Walaupun sudah dibantu oleh patner kerja Ammar, tidak ada salahnya juga mencari inspirasi yang mungkin saja ia sukai nantinya.

Setelah menjelajah dari satu laman ke laman lainnya di Google, pria itu akhirnya menemukan beberapa desain yang menurutnya menarik. Model minimalis tapi tetap terlihat menarik. Setelah mencetak gambar-gambar tersebut, ia mematikan laptop tersebut, membereskan meja, dan menyimpan dokumen di laci meja, Omar memutuskan pulang.

Usai mematikan lampu dan mengunci folding gate, Omar menuju mobilnya tapi belum sampai membuka pintu mobil, perhatiannya tertuju pada seorang wanita dan pria yang tampak seperti orang adu argumentasi. Awalnya ia tidak ingin ikut campur tapi melihat pria itu bertindak di luar batas—menarik tangan wanita tersebut agar mengikutinya — Omar pun mendekat. "Maaf mengganggu. Ada apa ini?"

Keduanya tampak kaget, terlebih pria itu dan segera melepaskan genggamannya dari tangan wanita tersebut. Wanita berhijab itu sendiri secepat kilat berlindung di balik tubuhnya. Omar pun refleks menoleh ke belakangnya, menangkap binar permohonan agar ia mau membantu wanita ini, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Ada masalah?" tanyanya dengan wajah menyelidik.

Pria itu tidak menjawabnya dan pergi begitu saja dengan mobilnya. Omar pun berbalik, memperhatikan wanita di depannya ini. Dia terlihat pucat, tarikan napasnya juga cepat seperti maling dikejar polisi, dan badannya bergetar. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Omar khawatir. Meskipun wanita di depannya ini mengangguk tapi Omar tak yakin akan jawaban tersebut.

Omar secepat kilat melangkah ke mobilnya, mengambil air mineral yang selalu ia sediakan jika sewaktu-waktu haus. Botol tersebut ia serahkan pada wanita berhijab itu. Dengan tangan sedikit bergetar wanita tersebut membuka segel dan tutup botolnya lalu diminumnya hingga setengah.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Omar ulang.

Wanita itu mengangguk. Dia mencoba mengatur kecepatan napasnya agar lebih lambat. "Terima kasih, Pak." Ia sungguh takut diseret paksa Haikal ke mobilnya. Khaira sungguh lega akan kedatangan pria di depannya ini. Sungguh ia tak mengira Haikal nekat memaksanya ikut.

Omar mengangguk samar tapi matanya tak teralihkan dari paras wanita di depannya ini. Keningnya berkerut saat satu pertanyaan melintas dalam benaknya. Kenapa wanita tersebut sendirian di tempat ini? Memang di beberapa bagian deretan ruko ini masih ada yang buka, tapi di deretan Omar semuanya sudah tutup termasuk tempat kerja Adiba. "Lain kali hati-hati." Ia kemudian berbalik saat wanita itu mengangguk.

Ia sudah memundurkan mobil hingga ke pinggir jalan dan siap meninggalkan parkiran tapi sampai beberapa saat mobilnya tak bergerak. Pandangannya tertuju pada wanita asing tersebut. Omar pikir mungkinkah terjadi sesuatu sampai dia tak segera naik ke motornya? Ia pun turun untuk menghampiri wanita tersebut. "Ada masalah?" tanyanya saat Omar berada didekat wanita berkerudung hitam itu.

"Tidak, Pak." Tidak mungkin bukan Khaira bilang jika kakinya terlalu lemah untuk bergerak. Tubuhnya lunglai tak bertulang. Kejadian tadi membuatnya syok. Dan Khaira butuh waktu untuk meredakan ketakutan dan kagetnya.

Namun, Omar tak sepenuhnya percaya akan jawaban wanita tersebut dilihat dari gestur tubuhnya. "Yakin?"

"Iya, Pak." Khaira coba menyunggingkan senyum menutupi gemetar tubuhnya.

Namun, jawaban Khaira yang terdengar ragu-ragu itu membuat Omar berpikiran lain. "Rumah kamu jauh? Eum maksudnya aku bisa mengantarmu pulang. Tenang saja aku nggak berniat buruk, hanya takut terjadi sesuatu di jalan. Aku bisa telpon karyawanku ke sini untuk menemani kita dan membawa motormu mengikuti mobilku."

Khaira menggeleng. Rasanya tidak pantas merepotkan seseorang yang baru dikenal apalagi ini sudah larut malam. "Terima kasih, Pak, tapi saya bisa pulang sendiri."

"Yakin?" tanya Omar. Wanita muda itu mengangguk cepat. "Baiklah." Omar tak akan memaksa jika wanita itu.

"Permisi." Khaira cepat-cepat berlalu dari hadapan Omar. Ia harus segera pergi agar pria itu tidak memaksanya. Khaira juga tidak bisa sepenuhnya percaya pada laki-laki di depannya tersebut, terlebih ia juga ingin segera sampai di rumah.

Omar bertahan di parkiran sampai yakin motor wanita itu berlalu dari hadapannya. Sejenak ia merenung dengan pandangan menerawang dan tersadar saat bunyi klakson dari kendaraan lain. Segera setelah tersadar, Omar melajukan mobil ke tempat nongkrong biasanya.

Dalam perjalanan pria itu mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah melihat baju yang wanita itu kenakan, motifnya familiar sekali. Ah! Bukankah itu seragam yang biasa Adiba pakai, berarti dia teman wanita itu. Tapi tumben pulangnya larut? Biasanya tokok sebelah tutup lebih cepat dari tokonya—sebab di pintunya diinformasikan jam operasionalnya.

Namun, kenapa ia baru tahu wanita itu padahal sudah menjadi tetangganya selama beberapa bulan ini? Apa memang begitu besarnya tidak pedulinya Omar pada sekitarnya sampai tak tahu perempuan tadi?

Tba.

Hmmm. Gmn gmn

Stole Your Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang