Halooo! Kok lama ternyata nggak update 🙈
####
Hari-hari berlalu dengan tenang. Tidak ada kegaduhan yang berarti sampai Omar—terakhir keluar dari toko—mendapati kejadian yang sama seperti beberapa waktu lalu. Ia pun menghampiri Khaira yang berdebat dengan pria yang waktu itu.
"Berhenti ganggu aku, Mas! Kamu itu sudah nikah. Istrimu juga lagi hamil. Nggak pantes kamu kayak gini." Khaira tak habis pikir dengan jalan pikiran Haikal, kalau memang masih menginginkan dirinya, kenapa mau pas dinikahkan sama Tantri?
"Tapi aku masih sayang kamu, Khai." Haikal tampak frustrasi tak bisa bersanding dengan Khaira. "Kita bisa nikah diam-diam. Toh aku diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu."
"Astaghfirullah, Mas! Nyebut! Kamu mungkin diperbolehkan tapi gimana perasaan istrimu? Gimana sakitnya perasaan dia? Nggak semua perempuan bisa menerima poligami itu. Apa Mas nggak takut hukuman Mas di akhirat nanti kalau nggak bisa adil? Berat, Mas," ujar Khaira lembut sambil mengusap cepat lengan Haikal yang tertutup baju. "Lagian aku nggak sampai hati nyakitin perasaan Mbak Tantri terlebih dia lagi hamil."
Haikal kemudian menatap lurus paras Khaira. Ia menemukan ide bagaimana ia bisa kembali pada Khaira. "Jadi kalau dia sudah nggak hamil, kamu mau balik sama aku?"
Ya Allah, Khaira kira Haikal mengerti maksudnya ternyata malah salah paham. "Nggak, Mas, aku ...."
"Sayangnya Khai sudah ada yang punya." Omar muncul dari belakang Khaira. Wanita itu terlihat terkejut karena ucapannya dan kedatangannya yang tiba-tiba. " ... dan saya harap Anda tidak mengganggunya lagi." Omar menampilkan senyuman tapi itu adalah senyum peringatan untuk pria di depannya itu.
Haikal terdiam, matanya memindai paras Khaira. "Itu benar, Khai? Kamu sudah punya pengganti ku?" Haikal tak percaya, sebab yang ia tahu Khaira bukanlah perempuan yang mudah menyukai lawan jenis. Ia saja hampir satu tahun baru bisa mendapatkan cinta Khaira, sedangkan ini? Setengah tahun saja belum ada.
"Iya, Mas," sahut Khaira tegas. Ia harus mengakhiri tindakan Haikal sebelum menjadi-jadi ke depannya.
Pria dengan tinggi badan 178 sentimeter itu menggeleng. Tidak mungkin, pikirnya. "Aku nggak percaya. Kalian pasti bohong. Aku tahu, dia pasti kamu suruh ngaku-ngaku, kan, Khai? Biar aku nggak temuin kamu lagi," tebak Haikal yang sepertinya tepat sasaran melihat ekspresi Khaira yang kaget saat pria di sisinya muncul, interaksi kaku di antara mereka, serta pias di paras Khaira, sungguh aneh jika dikatakan mereka pasangan. "Benar kan tebakanku?" Ia menyeringai lebar.
"Anda salah. Tanpa Khai suruh pun saya akan mengaku," sanggah Omar yang kini berhadapan langsung dengan Haikal. "Saya tidak suka pikiran Khai terbagi dengan hal tidak penting, termasuk Anda. Dan lagi tidak ada sandiwara di sini. Secepatnya akan saya kirimkan undangan pernikahan kami pada Anda." Omar kemudian berbalik dan mencengkeram lengan Khaira untuk ia tuntun ke motor wanita itu didekat mobilnya—jauh dari posisi Haikal. "Sebutkan no hp mu." Ia melepaskan cekalan di lengan Khaira lalu mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya.
Khaira terpaku melihat Omar. Ia tak bisa berpikir apa pun, otaknya serasa mati dan beku, hanya kedipan matanya yang seakan masih bernyawa.
"Khai. Berapa nomor ponselmu." Omar sedikit mengeraskan suaranya untuk mendapat jawaban Khaira. "Khai?" Sepertinya ia tak akan mendapat jawaban, jadi Omar akan minta ke Adiba. Ia pun segera menelepon Ardi yang rumahnya tak jauh dari tokonya. Usai menelepon, ia memberikan air mineral pada wanita itu.
Khaira menerima botol tersebut, langsung meneguknya setelah tutupnya terbuka. Ia perlu oksigen agar darahnya kembali bekerja serta membuat otaknya aktif kembali agar mampu berpikir. Ya Allah, apa yang baru terjadi? Bagaimana bisa pria yang ia tahu namanya saja tiba-tiba mengatakan semua itu? Khaira paham Omar hanya ingin menolongnya tapi bukankah itu terlalu berlebihan?
"Pak." Ardi langsung menghampiri Omar dengan ekspresi khawatir begitu turun dari motor sepupunya, pasalnya atasannya itu tak tidak bilang apa-apa hanya menyuruhnya ke toko. Ia pikir Omar kenapa-napa. "Bapak nggak apa-apa?" Tapi perhatian Ardi juga tertarik pada Khaira teman Adiba tersebut.
Bos Ardi itu mengangguk seraya tersenyum. "Nggak apa-apa. Maaf ya ganggu waktu istirahatmu," jawabnya. "Ar, tolong bawa motor Khai pulang. Besok bawa pas kamu berangkat."
"Baik, Pak," sahut Ardi. "Kuncinya?"
Omar kemudian melongok ke belakang Khaira. "Wes nyantol (sudah menggantung). Ati-ati, aku tak disik ya (aku duluan). Suwun, Ar." Ia menghela Khaira ke bagian penumpang. Setelah yakin wanita itu nyaman, ia baru ke bagian kemudi dan meninggalkan parkiran.
Sungguh Khaira seperti mayat hidup selama perjalanan. Ia mengeluarkan saat Omar menanyakan alamatnya lalu terdiam lagi. Bukan Khaira menikmati kenyamanan mobil pria itu tapi otaknya masih mencerna setiap detail ucapan Omar. "Pak ...." Hampir separuh perjalanan baru ia kewarasan kembali pada kenyataan. "Terima kasih tadi sudah menolong saya ...."
"Tapi?" Omar seakan bisa menangkap kalimat menggantung dari Khaira.
"Apa ... maksud saya ... saya tahu Pak Omar mau buat Mas Haikal berhenti ganggu saya tapi apa tidak terlalu berlebihan? Bagaimana kalau pasangan Pak Omar tahu hal ini? Saya ndak mau bikin kalian bertengkar gara-gara salah paham ini."
Pria itu tak menjawab, fokusnya terpusat pada jalan menuju rumah Khaira di daerah Pandan Rejo yang untungnya ia hafal sebab ada temannya di sini. "Ini ke mana?" Omar melambatkan laju mobilnya mendekati pertigaan jalan.
"Kiri, Pak. Nanti ada perempatan nganan," sahut Khaira. Ia menghela napas saat memperhatikan Omar sekilas.
Sesuai petunjuk Khaira, mobil Omar masuk gang besar tapi harus berhenti di pinggir jalan karena gang rumahnya tak bisa untuk mobil. Khaira turun dan ikuti Omar. Wanita itu pun bingung jadinya. "Terima kasih, Pak, sudah diantar." Meskipun heran tapi bukan berarti ia harus mengabaikan Omar.
"Masih jauh rumahmu?" Omar melihat jalan masuk rumah Khaira sepi, ya maklum saja ini sudah hampir setengah sebelas malam.
"Ndak, Pak. Kalau begitu saya masuk dulu. Sekali lagi terima kasih." Khaira berbalik dan mulai berjalan tapi langkahnya terhenti karena Omar berjalan di sisinya. "Kok Bapak ikut? E ... maksud saya ... maaf saya tidak bermaksud tidak sopan, saya sebenarnya ingin menawari Bapak masuk dulu tapi ini sudah malam dan tidak pantas." Ia tidak ingin Omar mengira dirinya tidak tahu terima kasih, tapi mengingat waktu dan tempat, juga tidak pantas. Ia takut warga mengira yang tidak-tidak.
"Nggak apa-apa. Saya antar sampai rumahmu." Omar berjalan lebih dulu yang akhirnya diikuti Khaira. Mereka berjalan dalam diam sampai ada seorang pria tua menghampiri Khaira.
"Kok malem banget pulange, Nduk. Bapak khawatir." Pria itu memegang kedua lengan Khaira, seakan memastikan putrinya baik-baik saja.
Khaira tersenyum lembut pada ayahnya. "Maaf, Pak. Tadi ban motor Khai kenak paku jadi nunggu temen bantuin." Alasan itu yang paling logis agar tak membuat bapaknya kepikiran.
"Motornya?"
"Nitip di rumah temen." Khaira rasa tidak ada salahnya menganggap Ardi teman. Besok ia akan berterima kasih padanya. "Pak, ini Pak Omar yang antar Khai pulang."
Omar maju untuk menjabat tangan ayah Khaira usai melepas pegangannya di lengan wanita itu. "Omar."
"Terima kasih" Pak Karmin—usai berkenalan—menawari Omar. Ia hanya ingin
"Sudah malam, saya pamit dulu." Omar kemudian salim pada ayah Khaira sebelum pria itu memaksa mampir.
"Hati-hati, Pak," pesan Khaira yang diangguki oleh Omar. Ia terus menatap punggung pria itu sampai hilang di balik tembok rumah paling ujung, barulah Khaira masuk bersama ayahnya.
Karmin mengunci pintu rumah yang terbuat dari triplek polos, di mana beberapa bagiannya sudah mengelupas.
"Bapak istirahat ya." Khaira memeluk Karmin sebelum masuk kamar. Sambil ganti baju ia terus berpikir maksud dan tujuan ucapan Omar pada Haikal.
Bukan ia ke-GR-an hanya saja, akan menimbulkan masalah jika diketahui orang lain. Apalagi itu hanya jualan saja, sudah pasti dirinya dibilang yang tidak-tidak nantinya. Ya Allah. Kenapa pula Omar tidak menanggapi pertanyaannya? Dengan begitu ia tidak akan kepikiran seperti sekarang.
Tbc.
Yang mau cepat, bisa ke Karyakarsa
Sudah part 22. ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Stole Your Heart
RomanceRasyidin bersaudara#2 Meskipun belum sepenuhnya berhasil move on dari Ilmira, Omar tak berharap cinta menyapanya kembali dalam waktu dekat. Rasa-rasanya ia butuh waktu untuk menyelami hatinya. Namun, gelap hatinya mulai memudar ketika seorang wanita...