2

1.8K 409 174
                                    


Lagi baik iniii. Udah update aja wkwkwk. Pemanasan dulu ya gaes ya ngoahahah.

###

Omar sedikit kaget melihat Ilmira pagi-pagi sudah di dapur bersama Mbok Yem dan Buk Imah. Tidak biasanya. "Bikin kopi? Tolong bikinin aku sekalian." Omar mengempaskan bokongnya kuat-kuat di kursi makan. Ia memijat lehernya yang sakit digerakkan karena salah posisi tidur. "Tumben udah di dapur? Ntar nggak ngamuk itu Abang?"

Sejak jatuh cinta pada Ilmira, abangnya sudah seperti sipir penjara saja, apa-apa harus dengannya, harus dengan izinnya, termasuk membantu di dapur, bahkan dia menambah pekerja lain untuk membantu Mbok Yem agar wanita itu tidak membantahnya. Ilmira tidak dibiarkan jauh darinya sedikit pun. Untungnya wanita itu begitu patuh pada Ammar, jika tidak, mungkin sudah pecah perang dunia setiap hari antara mereka. Apakah nanti bila ia jatuh cinta akan seperti itu? Posesif begitu?

"Mboten. Soalnya Mas Ammar memang minta dibuatkan kopi, sekalian buatin makanan buat Al."

Nah benarkan? Mungkin jika tidak diminta abangnya, Ilmira masih di kamar. "Kamu nggak ampek sama kelakuan Abang?" Ia menuang kopi panas itu di lepek agar lebih hangat

Kerutan tampak di kening Ilmira. Otaknya sedikit kesulitan mencerna maksud Omar. "Ampek pripun?" tanyanya bingung.

"Apa ya ... kayak nggak bebas. Aku lihatnya kamu kayak terkekang gitu. Ke mana-mana harus sama Abang. Semua kudu izin sama dia. Nggak bosen, Mir?"

Ilmira menggeleng. Ia memaklumi pandangan Omar tersebut. Pria itu hanya melihat permukaannya saja bukan dalamnya. "Mboten, Mas. Saya pribadi malah bersyukur sama sikap Mas Ammar, ya biarpun kadang-kadang berlebihan. Mulutnya pedes tapi perhatian. Ndak sedikit lho perempuan pengin diperlakukan seperti saya."

"Maksudnya gimana?"

Wanita yang duduk di seberang Omar itu tersenyum kecil. Mungkin perlu ia jelaskan sedikit agar Omar tidak salah mengambil kesimpulan. "Eum ... gimana ya bilang. Gini ... jadi saya pernah baca di sebuah web gitu tentang curahan hati wanita-wanita lain yang mengeluhkan suaminya kurang perhatian. Kurang perhatian di sini kayak sibuk sama dirinya sendiri sedangkan kami dituntut buat mengerti mereka. Padahal kami pun ingin diberi perhatian. Kami juga sama capeknya mengurus rumah dan anak yang sebenarnya itu adalah kewajiban seorang suami bukan istri.

"Ndak muluk-muluk sebenarnya yang diminta. Nggak perlu keluar ongkos juga, kayak dengerin kami cerita apa saja kegiatan sepanjang hari. Kasih pelukan yang bikin kami semangat . Membantu pekerjaan kami biarpun yang ringan-ringan dan ya hal-hal semacam itu. Itu kenapa saya senang dan bersyukur sama sikap Mas Ammar. Lagian kalo keluar sendiri malah kerepotan Mas. Yang gendong Al, bawa tas perlengkapan dia. Belom lagi kalo lagi rewel. Kalo berdua bisa gantian."

Ah seperti itu. Jadi selama ini ia sudah salah memahami perilaku abangnya yang justru sangat memprioritaskan kenyamanan Ilmira. "Abang sekarang bulol ya, Mir."

Ibu muda itu terkekeh. Sekarang bucinnya Ammar sudah tidak tertolong. "Iya, Mas. Saya tinggal dulu nggeh. Takutnya Al nangis." Ilmira berdiri membawa kopi yang masih panas sebab ia tutup atasnya.

Usai sarapan dan bermain bersama Al-Kausar, Omar ke rumah sebelah mencari ibunya untuk pamitan. Saat masuk rumah masak itu, ia melihat ibunya tengah bercanda dengan Risma. Perempuan muda itu ceria, makanya tak heran kalau ibunya terhibur. "Buk," panggilnya.

Cindy menoleh. "Walah. Tumben ke sini?" sindirnya, pasalnya Omar jarang sekali ke tempat ini. "Mau apa?"

Omar tak menanggapi sindiran Cindy. Ia merangkul wanita yang sudah melahirkan dirinya itu. "Nggak apa-apa. Mek mau bilang, jangan lupa istirahat. Baru enakan gitu kok."

Stole Your Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang