6

1.6K 323 96
                                    

Datang lagi 🤭🤭 cus baca deh

🌺🌺🌺

"Kata Ibuk kamu lagi deket sama Risma, Om." Ammar duduk tak jauh dari Omar di teras belakang. Ia mengeluarkan rokok, mengambilnya sebatang lalu melemparkannya ke meja, siapa tahu adiknya juga ingin.

Omar tertawa saja mendengarnya. "Ibuk cerita?" Ia mengambil rokok tersebut, menyulutkan kemudian menghisapnya. Ah kapan terakhir mereka duduk dan merokok bersama? Sepertinya sudah lama sekali.

"Mira yang cerita."

Putra kedua Rasyidin tersebut menghela napasnya, terdiam, dan mencoba menelaah perasaannya. "Biasa aja, Bang."

"Kalo iya yo nggak apa-apa, Om. Wajar juga. Sama-sama sendiri juga kan?" sahut Ammar seraya menoleh Omar sejenak kemudian kembali ke posisi awal.

"Ndak dulu, Bang. Masih pengin fokus di kerjaan aja."

Ammar mengangguk kecil. "Kerja boleh tapi jangan terlalu larut. Ada saatnya nanti kamu butuh seseorang di sisimu." Hanya itu yang bisa ia katakan. Rasanya tak pantas mendorong adiknya segera menikah setelah mengetahui perasaan Omar pada istrinya, terlebih untuk melupakan sepenuhnya perasaan yang dipunya sangat tidak mudah.

"Iya, Bang."

Seseorang seperti apakah yang nantinya akan menemani dirinya? Seperti Ilmira, Risma, atau Adiba karyawan sebelah? Atau ayahnya mempunyai kandidat lain? Entahlah. Bisa saja salah satu dari mereka, yang pasti saat ini Omar cukup menjalani hidupnya seperti biasa sampai seseorang mampu membuka hatinya. Terkadang ia kesulitan mengenali perasaannya, mungkinkah perasaan itu mati bersama kandasnya cinta Omar pada Ilmira? Bisa saja.

Untuk waktu yang cukup lama keduanya diam. Menikmati kebersamaan dalam keheningan. Ya kadang mereka seperti itu meskipun nantinya tidak menemukan solusi untuk masalah masing-masing, tapi mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri, ada keluarga yang siap mengulurkan tangan pada mereka.

"Abang ke kamar dulu."

Pria itu mengangguk. Ia melanjutkan menghisap rokok yang tinggal separuh. Kosong. Semakin ke sini semakin sepi yang ia rasakan. Sejujurnya bukan hanya Risma, Adiba saja yang berusaha menarik perhatiannya tapi entah mengapa hatinya belum tergerak sedikitpun. Mungkinkah ia perlu mencoba lebih dekat dengan mereka? Bisa jadi dengan lebih dekat Omar akan menyukainya nanti.

Keesokan harinya, jam tiga sore Omar bergegas pulang. Ia diminta mengantar ibunya ke rumah Risma, menjemput wanita itu untuk bersama-sama ke acara pernikahan salah satu karyawan Cindy. Biasanya selalu bareng Ammar dan Ilmira tapi sudah dua hari ini keluarga kecil itu menginap di tempat kerja Ammar. Mereka berangkat dari sana. Abangnya sudah menawarkan untuk menjemput Cindy tapi beliau menolak dan meminta bertemu di tempat saja.

"Le, Risma kui piye menurutmu?" Cindy menatap putranya dari kursi tengah. Ia sengaja di belakang agar Risma duduk di samping Omar nantinya.

"Ini yang dijemput cuma Risma? Yang lain ndak?"

"Kamu itu ditanya apa jawabnya apa. Mbuh wes."

Pria itu tertawa melihat ibunya bersungut-sungut. Ya ia tahu jika ini salah satu usaha beliau ingin mendekatkannya dengan pegawainya itu. "Ya nggak gimana-gimana, Bu. Namanya suka kan ndak bisa dadakan langsung suka gitu. Selama ini kan cuma sekedarnya saja, bukan yang dekat gitu. Jadi ya nggak bisa ngomong gimana-gimana." Ia melambatkan laju kendaraan saat mendekati lampu merah. "Ini lurus apa belok, Buk?"

"Belok kanan." Cindy mengirim pesan pada Risma bahwa mereka hampir tiba. "Ya lek gitu coba deket sama dia. Apa langsung nikah aja kayak Ammar?" Ia pikir itu satu-satunya langkah jitu untuk membuat keduanya dekat. Risma bukanlah Ilmira yang kalem dan penurut, jadi Cindy pikir wanita itu bisa mengimbangi karakter Omar.

"Mboten. Biar nanti sejalannya saja, Buk."

"Di tempat kerja nggak ada yang narik perhatian gitu ta?"

Omar tidak menjawab pertanyaan Ibunya. Ia fokus untuk menepikan mobilnya saat melihat Risma berdiri di pinggir jalan. Cindy langsung membuka jendela dan menyuruh Risma duduk di depan. Pria itu tidak mengatakan apa-apa kemudian melajukan mobil ke tempat tujuan di daerah Ngijo. "Ini sudah nggak ada yang dijemput maleh, Buk?" tanya Omar.

"Ada di depan nanti," jawab Cindy.

Setelah menjemput dua karyawan ibunya, Omar sedikit menambah kecepatan agar segera sampai sebab abangnya mengirim pesan sudah di lokasi. Ia memarkir mobil di samping mobil Ammar. "Bang," sapanya ketika Ammar keluar dari mobil.

"Ayah mana?" tanya Ammar. Ia memanggil Ilmira karena anaknya menangis. "Al bawa sini." Ilmira mendekat, ia segera mengambil Al-Kausar dari gendongan istrinya. Putranya ini memang manja sekali padanya.

"Ayah belum pulang. Makanya aku yang anter." Mereka berjalan bersama menuju tenda pernikahan.

Acara temu manten (pertemuan antara pengantin wanita dengan pengantin pria di rumah kediaman wanita untuk melaksanakan prosesi perkawinan secara adat) berlangsung dengan khidmat. Risma yang duduk di barisan belakang Omar memperhatikan pria itu. Ya Allah, bolehkah ia meminta jika lelaki itu menjadi jodohnya? Ya katakanlah ia berharap terlalu tinggi tapi siapa tahu jika Tuhan mengabulkan inginnya.

Omar. Belakangan ini Risma memperhatikan dengan benar pria itu, dan bisa dikatakan nyaris sempurna sebab tidak ada yang benar-benar sempurna selain Allah. Dia tinggi, tubuhnya juga tegap, berotot di tempat yang pas, hidungnya mancung seperti perosotan kalau kata anak sekarang. Sorot mata yang terkadang tajam, terkadang teduh mampu menarik lawan jenis, terlebih di bingkai alis tebal, ya Allah, nikmat mana lagi yang mampu Risma dustakan.

"Cakep ya, Ris. Coba aja kalo aku belum nikah dan Pak Omar mau sama aku, nggak pake ba bi bu aku iyain dah," celetuk Ningsih dari sisi Risma. Sudah ia perhatikan terus jika temannya ini tak mengalihkan pandangannya dari Omar. Mungkin Risma memiliki perasaan untuk pria itu.

Risma mengangguk, membenarkan karena memang seperti itulah kenyataannya bahwa Omar itu tampan, walaupun tampan versi orang itu berbeda-beda tapi wanita mana pun pasti sepakat dengan pendapatnya.

"Pepetin wes jangan kasih kendor. Namanya usaha ye kan? Siapa tahu jodoh. Biar kata nggak mungkin tapi kalo dah jodohnya mau gimana juga bakalan jadi," ujar Ningsih yang usianya tak berbeda jauh dari Risma.

"Iya sih, Mbak. Tapi Pak Omar kayak susah dideketin nggak sih?" sahutnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Omar. "Dia emang senyum gitu tapi ya sebatas itu kita bisa deket dia. Kayak ada dinding tipis gitu ya yang halangi. Apa itu cuma perasaanku aja ya, Mbak?" Di mata Risma, Omar seperti hewan laut blue dragon, dia indah tapi mematikan, senyumnya menawan tapi membekukan.

Ningsih memperhatikan putra dari majikannya itu. "Masa sih, Ris? Aku lihatnya dia ramah gitu. Tapi ya nggak tahu lagi ya. Mungkin karena baru ini kalian deket jadi apa ya kayak masih belum terbuka gitu," ujar Ningsih bijak. Namun, bukankah selalu seperti itu jika baru kenal secara dekat?

Perempuan muda itu mengiakan ucapan Ningsih. Mungkin karena belakangan ini mereka lebih banyak berinteraksi jadi belum sepenuhnya mengenal lebih dalam. "Jadi maju aja nih pepetin dia?" Risma menoleh cepat pada Ningsih.

"Haruslah. Usaha maksimal hasilnya ya kudu maksimal juga, makanya kalo minta sama Allah yang ngotot. Pokoknya harus jodoh." Ningsih tertawa tertahan sebab prosesi temu manten masih berlangsung.

"Sesad betul ente," sahut Risma segera. Ia kemudian memperhatikan lagi Omar. Dari samping saja sudah menawan, apalagi jika bertatap muka, mungkin dirinya akan pingsan saking sukanya melihat wajah pria itu. Ya Tuhan, salahkah dirinya terlalu berharap lebih pada Omar padahal mereka baru dekat? Atau ini hanya euforia sesaat saja?

Getaran ponsel di pouch yang Risma pangku membuyarkan lamunannya. Ia mengeluarkan benda tersebut, membuka kunci layar tapi tak membuka pesan itu, hanya menarik atasnya untuk menampilkan pesan tersebut

Mbak Mira:
Di sebelah mana? Aku cariin kok nggak ada?

Ia tersenyum lebar membacanya.

Risma:
Belakang Pak Omar. Lagi pdkt

Ia beri emoticon tertawa lebar di akhir kalimatnya.

Mbak Mira:
Semangat.

Tbc.

Komen komen 😁

Stole Your Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang