9

1.2K 292 74
                                    

Halooo! Maaf ya sellow update banget 😂

###

Keesokan hari, saat istirahat siang, Omar berdiri didekat jendela yang menghadap jalan raya. Niat awalnya hanya ingin melihat-lihat parkiran dan sekitarnya, lalu lalang kendaraan, atau mobil dan motor yang keluar masuk di halaman tokonya, serta orang-orang yang berhenti untuk membeli jajanan di pinggir jalan untuk menghilangkan lelah di tubuh. Namun, mata Omar tiba-tiba menyipit  saat menangkap sosok yang mungkin ia kenal.

Omar merapat pada jendela kaca di depannya. Pandangannya tertuju pada objek di bawah sana. Itu ... Omar melangkah lebih dekat lagi ke jendela agar penglihatannya jelas. Di bawah sana Adiba sedang dikejar oleh temannya yang sepertinya ia tolong semalam. Matanya semakin menyipit tajam untuk memastikan apa benar wanita semalam.

"Diba! Sini!" Khaira membawa ranting kecil yang jatuh di halaman parkir. Ia mengejar temannya itu karena mengoles pipinya dengan kecap.

Tentu saja Adiba menghindar dari amukan Khaira. Ia paling suka menganggu wanita itu agar tidak terlalu serius sepanjang waktu. "Ampun, Mbak. Capek aku lari terus." Adiba berhenti berlari. Ia membungkuk dengan tangan kiri sebagai penyangganya, sedangkan tangan kanan di dada untuk menetralkan ritme napasnya.

Makanya jangan iseng. Suka bener usilin orang." Khaira merapikan jilbabnya sebelum kembali ke penjual pentol kabul di sisi jalan. "Diba! Ini kamu pedes apa nggak?"

"Pedes." Adiba menghampiri Khaira.

"Jangan pedes-pedes terus, Diba. Kasihan perutmu." Khaira menyerahkan bungkusan pentol siap makan pada kawannya itu. Ia sendiri menunggu miliknya.

"Kalau nggak pedes itu nggak enak, Mbak," sahut Adiba yang langsung mencolok pentol itu. "Mbak, Pak Haikal udah nggak datang-datang lagi?"

Wanita 27 tahun itu menggeleng. "Insyaallah nggak." Tidak mungkin ia mengatakan pada Adiba bahwa semalam Haikal bertindak di luar batas, Khaira harap pria itu tidak datang lagi.

"Alhamdulillah. Orang kalo udah peteng (gelap mata) bisa nekat. Lagian ngapain juga mau nikah sama Mbak Tantri kalo masih cinta sama Mbak. Aneh," dumel Adiba seraya menggandeng lengan Khaira untuk ia hela masuk ke toko.

Itu pun jadi pertanyaan Khaira. Namun, apa pun alasannya, satu yang ia yakini, semua ini memang sudah jalannya. Tuhan menulisnya bukan tanpa tujuan. Bukan Khaira pasrah saja tapi jika Sang Pencipta yang turun tangan, ia sebagian ciptaannya bisa berbuat apa?

Bukankah jodoh, mati, dan rezeki sudah diatur sebelum manusia dilahirkan? Jadi tidak perlu terlalu larut dalam sedihnya, yakin saja jika sudah menjadi haknya, maka akan datang meskipun terkadang di luar logika. "Nggak usah di pikirin, Diba. Banyak hal di luar nalar kalo Allah udah bilang ok. Jadi ya udahlah, mungkin memang dia jodohnya Mbak Tantri."

"Iya sih."

Dua wanita ayu itu berjalan di bawah tatapan Omar. Bibir pria itu menyunggingkan senyum kecil melihat keduanya padahal Omar tak mendengar apa yang mereka obrolkan, tapi melihat ekspresi wanita-wanita tersebut cukup membuatnya tersenyum, hal yang jarang ia lakukan.

"Pak."

Omar menoleh ke belakang mendengar Ardi memanggilnya. Ia berbalik menghadap karyawannya itu. "Kenapa?" Ia berjalan ke kursinya di balik meja kerja.

"Ini data diri pelamar untuk tambahan karyawan di gudang." Ardi meletakkan map kertas yang di dalamnya terdapat riwayat hidup pelamar toko Omar.

Pria itu mengangguk. Ia membuka map itu. Membaca lembaran tersebut. "Kamu udah pilih mana yang cocok?"

Ardi mengangguk. "Sudah, Pak. Itu data pelamar yang menurut saya cocok."

"Ya sudah kamu pilih yang paling cocok." Omar menutup map dan mempercayakan keputusan pada Ardi. "Oh ya, Di ... ah nggak jadi."

Tak lama setelah Ardi pergi, ibunya menelepon bahwa ia ada di bawah bersama Risma. Omar heran tapi tak berlama-lama di ruangannya dan segera menyusul ibunya di bawah.

"Buk." Omar menyalami Cindy dan membimbing beliau ke ruangan khusus karyawan—ibunya pernah menolak saat akan dibawa ke ruangannya di lantai tiga. "Dari mana?' tanyanya usai mengambilkan air mineral kemasan untuk Cindy dan Risma.

"Dari rumah. Mau ke toko sebelah," jawab Cindy.

Omar yang bersandar di bingkai pintu, serta tangan di dalam saku celana terlihat heran. "Ngapain, Buk?"

"Mau lihat koleksi gamis terbaru mereka. Kemarin Ibuk dapet wa gitu dari tokonya, kalau ada koleksi terbaru. Pas Risma belum pulang ya wes minta temenin, habisnya Mira nggak bisa," cerita Cindy tanpa diminta. Meskipun ia berniat menjodohkan Omar dan Risma tapi ia tidak ingin terlihat mencolok.

Pria itu mengangguk saja. Ia menarik diri dari bingkai pintu. "Omar temani. Kebetulan kerjaan udah kelar." Ia berjalan di belakang ibunya tapi Omar berhenti, menengok ke belakang. "Ngapain di situ?" tanya pada Risma yang masih berdiam di kursi.

"Nggak ngapa-ngapain. Sengaja sih, mau tahu aja, Bapak ingat saya nggak," sahut Risma yang mendapat tatapan heran. "Ini nih kalau ngomong sama tembok, nggak ngerti kode-kodean emang ya." Risma melewati Omar menyusul Cindy.

Omar tidak paham maksud Risma, ia pun menggeleng kemudian menyusul dua wanita beda usia tersebut. Sampai di sana ia disambut Adiba dengan senyum semringah, Omar membalasnya dengan secukupnya.

"Tumben Pak Omar ke sini. Mau cari apa, Pak?" Adiba menebar senyumnya ketika berada di sisi Omar.

"Nggak ada. Itu anter mereka," ujarnya menunjuk ibunya dan Risma dengan dagunya.

Adiba mengikuti pandangan Omar. Oh pelanggan yang baru masuk. "Oh. Itu ibu sama saudaranya ya, Pak?" Ia penasaran akan perempuan muda di sisi orang yang Adiba tebak ibu dari Omar.

"Itu Mbak Khaira kalo Bapak mau tahu namanya," cetus Adiba dari sisi Omar. Sedari tadi ia mengikuti gerak-gerik pria itu, jadi ia tahu kalau sekarang ini perhatian Omar tertuju pada teman kerjanya.

Omar mengangguk. "Sudah lama kerja di sini?" tanya Omar sambil menoleh Adiba.

"Ya sejak buka di sini. Emang Bapak nggak pernah lihat Mbak Khai?"

"Nggak. Baru semalam tahu," jawab Omar lalu pergi menghampiri ibunya dan Risma. "Sudah dapat, Bu, yang dicari?"

Semalam? Adiba mengulang ucapan Omar dalam hati. Memang semalam terjadi apa? Mengapa Khaira tak bercerita padanya? Wah, harus diinterogasi agar semuanya jelas. Nanti setelah mereka sendirian, Adiba akan bertanya.

Cindy mengangguk. "Wes. Risma ya sudah. Kui lagi dipacking sama Mbak tokoe."

Omar segera ke meja kasir tapi yang melayaninya pegawai lainnya. Entah ke mana perginya Khaira—seperti yang dibilang Adiba—padahal tadi ia melihatnya keluar. "Berapa semua, Mbak?"

Tya menyebutkan jumlah yang harus Omar bayar. Pria itu kemudian mengeluarkan kartu berwarna hitam. "Silakan PIN-nya, Pak." Tya menghadapkan mesin EDC kepada Omar. "Terima kasih atas kunjungannya." Tya mengulas senyum manis yang diangguki oleh pria itu.

Usai kepergian Omar dan rombongannya, Adiba mendekati Khaira yang duduk di bawah belakang meja kasir—membungkus mukena dan lainnya untuk diambil kuris ekspedisi. "Mbak Khai, semalam ketemu Pak Omar ya?" Ia duduk di sisi Khaira. Tangannya cekatan merekatkan selotip di pembungkusnya agar aman.

Tentu saja Khaira bingung dengan pertanyaan Adiba. "Semalam, Diba?" Ia menoleh pada kawannya itu. Adiba mengangguk kuat.

Seingatnya, semalam ia hanya bertemu dua pria, Haikal dan laki-laki yang menolongnya. Mungkinkah ... apa pria itu yang namanya Omar, pria yang selama ini membuat Adiba tergila-gila? "Oh jadi dia to? Mbak nggak tahu kalo dia itu Pak Omar, Diba."

"Emang kalian pas ngapain kok bisa ketemu?" Adiba menumpuk kotak-kotak yang sudah ia bungkus rapi dan siap diambil.

"Nggak sengaja ketemu aslinya. Jadi kemarin itu Mas Haikal datang, kami cekcok terus Pak Omar nyamperin. Gitu aja. Malah Mbak baru tahu kalau dia Pak Omar yang kamu suka itu." Khaira tak ingin Adiba salah paham, sebab, orang yang jatuh cinta perasaan lebih perasa.

Tbc.

Cieee ada yg perhatian rekkk🤣
Di KK udah part 22 ya. Monggo yang berkenan baca duluan.

Stole Your Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang