21

1.2K 327 116
                                    

Datang lagiiii.
Baca cepat di Karyakarsa ya.

🌺🌺🌺

Dua hari setelah berbelanja keperluan seserahan pernikahan, Omar mengantar pulang Khaira yang mendiamkannya. Wanita itu mogok bicara padanya karena ia tidak memberitahu harga cincin yang mereka beli. Pesannya hanya dibaca saja. Kalau ia telepon cepat-cepat dimatikan atau didengarkan saja. Tidak perlu orang pintar untuk memberitahunya bahwa Khaira ngambek.

"Mau diem terus?" Omar membuka kaca mobil ketika melintas di jembatan. Ia sedikit memperlambat laju mobilnya. Pria itu juga membuka laci dasbor, mengambil kotak cincin. "Ini kan yang bikin kamu ngambek." Omar mengangkat kotak hitam lapis kain beledu tersebut. "Bagusnya dibuang saja barang ini, bikin masalah." Tangannya siap melempar kotak tapi langsung ditahan oleh Khaira.

Refleks Khaira mencekal tangan Omar yang memegang kotak cincin itu. "Jangan!"

"Kenapa? Gara-gara ini kan kamu diem terus. Mending dibuang, beres urusannya." Omar menatap lurus Khaira. Wanita itu juga melihatnya. "Kamu bisa beli sesuai yang kamu mau."

Wanita itu menggeleng. "Aku cuma pengin tahu harganya," cicit Khaira seraya melepaskan tangan Omar.

"Kalau sudah tahu kamu mau apa? Mau bayar setengahnya?" Omar menaruh lagi kotak itu di laci dashboard.

Khaira mengangguk.

"Kalau kubilang 35 juta gimana?"

Wanita itu melotot. Tidak. Omar pasti bercanda. "Bapak eh Mas lagi bercanda, kan?"

"Apa kelihatan lagi bercanda?"

Tubuh Khaira rasanya tak bertulang, lemah dan lemas. Benar-benar informasi yang mengejutkan. 35 juta untuk sepasang cincin nikah? Mahal sekali. Ia tidak mengira semahal itu harganya, padahal Khaira kira sekitar jutaan bukan puluhan juta. Astaga.

"Masih mau bayar setengahnya? Boleh. Kebetulan juga butuh buat bayar cicilan bank." Omar menyeringai melihat gelengan Khaira. Sudah bagus tinggal terima malah cari penyakit. Sekarang wanita itu ketakutan sendiri.

"Tinggal terima apa susahnya sih, Khai. Cewek tuh dikasih ini itu sama cowoknya mesti seneng, la kamu malah ngajak berantem. Aneh," omel Omar.

"Maaf, Mas." Khaira menunduk, memainkan pinggiran baju kerjanya. Ia tidak terbiasa menerima hal-hal mewah sejak keadaan keluarganya berubah. Bukan berarti selama keluarganya berkecukupan ia boros dan konsumtif akan barang mewah, tidak. Seperlunya saja.

Sisa perjalanan mereka sama-sama diam. Omar kesal dan ganti mendiamkan Khaira, sedangkan wanita itu sendiri ingin mulai bicara takut melihat ekspresi wajah Omar yang tak bersahabat.

Tiba di rumah Khaira, Omar bergabung dengan Bayu dan beberapa pemuda di teras rumah salah satu tetangga Khaira. "Ketemunya di sini ya, Man." Omar menepuk bahu Rahman.

Pemuda itu mengangguk. Ia bergeser memberi tempat untuk bosnya. "Iya, Pak, nggak sangka."

Omar mengeluarkan rokok miliknya serta menaruhnya di tengah-tengah untuk dinikmati bersama-sama. Meskipun selalu membawa rokok ke mana-mana, ia tidak setiap hari ia merokok, hanya saat-saat tertentu seperti sekarang ini. "Ada keluhan?" Ia ikut jagongan agar nantinya tidak menimbulkan masalah kalau ia berkunjung ke rumah Khaira. Selain itu agar lebih kenal tetangga sekitar.

"Alhamdulillah ndak, Pak. Senang saya kerja di sana," ujar Rahman dengan senyum lebar.

"Alhamdulillah." Omar juga senang, berarti ia tidak dzalim pada karyawannya. "Bay, gimana urusannya?"

"Sudah, Bang. Tinggal jomblokan ke KUA. Tadinya aku mau kasih tahu Abang tapi keduluan ke sini." Bayu menuang kopi ke cangkir plastik bersih lalu diberikan pada Omar. "Rencananya kapan mau ke KUA, Bang?"

"Aku sih kapan saja, coba nanti kamu tanya Khai bisanya kapan."

"Iya, Bang."

Malam itu Omar langsung pulang tanpa pamitan pada Khaira. Ia masih kesal pada wanita itu. Biar saja perempuan itu tahu bagaimana rasanya didiamkan.

###

Khaira melirik ponsel di sisinya, tidak ada satu pun pesan dari Omar dia hari ini, hal tersebut membuatnya gelisah. Pesan darinya pun tidak dibaca padahal itu soal jomblokan ke KUA, alhasil ia minta tolong Bayu untuk menyampaikan pada Omar.

Ya Allah. Sungguh ia tidak bermaksud menyinggung Omar, Khaira tidak ingin pria itu menanggung semua biaya pernikahan ini sendiri sebab sebelum membeli barang seserahan, Omar memberinya uang belanja dengan jumlah banyak. Kalau ditotal semua pemberian Omar cukup untuk membeli mobil bekas Toyota Rush.

"Khai, dijemput tuh." Tya menyenggol bahu Khaira, memberi kode dengan dagunya. "Enak wes nggak capek nyetir. Ada yayang beb yang boncengin. Jadi kapan nih undangannya." Dua alis Tya bergerak naik turun menggoda Khaira.

"Undangan rapotan? Ada tuh punya Bima. Mau gantiin ambil raport nya? Boleh banget. Mayan bisa tiduran di rumah."

"Yaelah, kura-kura dalam perahu lagi. Wes kono ndang. Ardi selak nesu (sudah sana cepat. Ardi keburu marah)."

Mana mungkin Ardi marah, yang ada Omar yang marah. Memikirkan hal itu membuat Khaira resah dan bertanya-tanya, mengapa ia sekarang terpengaruh oleh pria itu padahal belum ada dua bulan mengenal? Apa karena pria itu akan menjadi suaminya Khaira jadi terpengaruh? Bisa saja. Sedikit banyak ia mulai memikirkan suasana hati Omar. Memikirkan perasaan pria itu jangan sampai membuatnya marah.

"Mbak Khai malah ngelamun. Noh Mas Ardi sudah nungguin dari tadi tuh." Adiba yang menggantikan Khaira untuk shift siang, menepuk pelan lengan kawannya itu.

"Astaghfirullah." Khaira segera ke ruang karyawan mengambil tas. Ia berlari agar lebih cepat. "Aku duluan."  Sampai di luar ia segera menghampiri Ardi. Sekarang ini ia tidak lagi membawa motornya sebab Ardi selalu menjemput. "Maaf ya, Mas, saya lama."

"Ndak apa-apa, Bu." Ardi menghidupkan motornya.

"Mas Ardi sudah lama ikut Pak Omar?" Khaira mengencangkan suaranya agar terdengar di antara deru kendaraan lainnya.

"Lumayan, Bu, dua apa tiga tahunan lah."

"Pak Omar itu orangnya kayak gimana to?"

"Baik, Bu. Asal nggak dijarak (dicari gara-gara)," jawab Ardi. Ia membelokkan motor ke tempat biasa, Alfamart. Saat mereka tiba Omar sudah berada di parkiran. Namun, pria itu tidak turun menghampiri mereka seperti biasanya. Aneh dan hal itu tidak luput dari perhatian Ardi. Walau begitu ia menyimpan rapat keheranannya itu.

Jendela mobil terbuka, kode untuk Khaira naik. Wanita itu membuka pintu mobil tapi sebelum ia pamit pada Ardi. "Makasih ya, Mas, sudah dianterin." Khaira kemudian menutup pintu usai ia duduk nyaman. Ia menunggu reaksi Omar akan panggilan yang ia sematkan pada Ardi tapi sepertinya sia-sia saja. Pria itu bungkam sampai tiba di rumahnya. "Mampir, Mas?" Khaira menatap Omar, berharap pria itu menyambut tawarannya, dengan begitu kebisuan di antara mereka bisa ia kikis.

Namun, sepertinya harapan Khaira sia-sia. Omar menolak dengan alasan ada pertemuan dengan Beni. Pria itu hanya bilang kalau besok pagi akan menjemputnya untuk ke KUA. Khaira turun dengan perasaan gelisah. Merasa aneh saat pria itu lebih kalem.

Tbc..

Hiyaaa ... hiyaaa .... wes kan.

Stole Your Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang