Taraaa! Ayem datang lagi.
🌺🌺🌺
Sebelum subuh Khaira bangun untuk segera masak agar ketika Omar bangun makanan sudah siap. Pria itu tidur sepanjang malam, bangun hanya untuk salat dan kembali tidur—melewatkan makan malam. Mungkin capek atau kurang fit badannya sebab Khaira mendapati tubuh suaminya itu lebih hangat dari biasanya.
Sampai di dapur, ia segera mencari bahan masakan di kulkas. Ada bahan untuk capcay, tahu, tempe, dan ayam potong. Tidak banyak bicara ia segera membersihkan semua bahan, mengiris bumbu untuk capcay. Tidak lupa membuat sambal terasi. Mungkin bagi sebagian orang sarapan pagi harusnya bukan makanan berat tapi bagi keluarga Khaira, makan berat agar mereka tidak jajan lagi.
"Masak apa, Mbak?" tanya Bayu. Pria itu masuk ke kamar mandi sebelum membuat risol mayo untuk dikirim ke pedagang-pedagang kue langganan. Setelah Khaira menikah, dirinyalah yang meneruskan. Sayang kalau harus tidak produksi sebab sudah banyak langganan mereka.
"Capcay. Adanya itu saja di kulkas." Khaira mulai menumis bumbu dan bahan lainnya. "Oh ya, Bay, itu material punya siapa? Kok sampai teras-teras dipake. Sebelah?" Ia tak memperhatikan Bayu sedang membuat adonan kulit risol.
"Lho bukannya Mbak yang kirim ya? Kata Abang mau benerin rumah. Gimana sih. Masa gitu aja lupa."
Khaira refleks menoleh ke belakang di mana Bayu berada. Parasnya tampak kebingungan. Perasaan ia tidak mengirimkan material itu kenapa ... mungkinkah ini kerjaan Omar? Sepertinya begitu. "Oh ya lupa."
"Memang Mbak ada uang lebih buat benerin rumah? Gaji kuli sama mandornya aja lumayan lho, Mbak. Belum lagi nanti nambah bahan kalau ada yang kurang."
"Ada sedikit sama dibantu separuh sama Mas Omar." Terpaksa ia berbohong saja. Nanti setelah pria itu bangun Khaira akan menanyakan hal ini secara terperinci.
Bayu tampak mengangguk. "Alhamdulillah. Kayaknya Bang Omar bener-bener sayang sama Mbak. Nggak nyesel aku paksa Mbak nikah sama dia."
"Iya."
Namun, Bayu tidak tahu saja bahwa ia jadi punya utang besar karena hal ini. Mungkin ia harus benar-benar menyerahkan semua tabungan yang ia punya untuk membayar sebagian dana yang dikeluarkan Omar untuk memperbaiki rumah ini.
Usai melaksanakan salat subuh, Khaira membangunkan Omar. Pria itu hanya melenguh saja tanpa berkeinginan membuka matanya. Tidak biasanya. Wanita itu coba membangunkannya lagi tapi lagi-lagi hanya erangan yang ia dapat. Khaira coba menempelkan tangan ke dahi Omar. Ah pantas saja pria itu bergerak gelisah hampir sepanjang malam, ternyata badannya demam.
"Mas. Bangun dulu, salat, habis itu kamu bisa tidur lagi."
Sampai di goncangan ketiga barulah Omar bersedia membuka matanya. Pria itu merasa tak nyaman dengan suhu tubuhnya yang naik. Kepalanya juga pusing. Badannya terasa remuk seakan tertimpa beban begitu berat. "Jam berapa?" tanyanya dengan suara serak. Ia kemudian mulai menekan-nekan pelipisnya dengan pelan. "Pusing banget kepalaku."
"Jam setengah lima. Sholat dulu. Kalau mau makan sudah matang, Mas, sekalian minum obat." Khaira duduk di pinggir kasur, lalu mengulurkan tangan, memijat pelan kedua pelipis Omar.
Omar menaruh kepalanya di pangkuan Khaira. Menikmati pijatan lembut di pelipisnya. "Enak, Khai. Perasaan aku nggak ngapa-ngapain tapi kok drop gini."
"Mungkin capek tapi nggak dirasa. Kemarin malah nggak makan, jadinya makin nggak fit."
"Heum." Omar pun menghadap ke perut Khaira lalu menutup matanya. "Lima menit lagi, Khai." Ia semakin merapatkan wajahnya ke perut wanita itu. Nyaman.
###
Mentari tengah bersinar benderang kala Omar bangun dari tidurnya—usai salat subuh. Tanpa sadar pria itu mengerang karena pusingnya belum juga reda. Beberapa kali matanya terbuka tertutup hingga semuanya jelas. Kamar itu sunyi hanya suara burung peliharaan mertuanya yang terdengar.
Omar bangun, duduk di pinggir kasur dengan kepala berdenyut. Astaga. Bisa-bisanya ia sakit di rumah Khaira, di mana ia perlu mengantar Karmin ke dokter. Pria itu meraih ponselnya sekaligus lipatan kertas di bawah ponselnya.
Assalamualaikum.
Mas, saya kerja. Tadi mau pamit tapi lihat njenengan tidur nyenyak ya nggak jadi. Makanannya sudah saya siapkan di dapur. Jangan lupa obatnya diminum.Naik apa dia? Apakah ojek online? Segera saja Omar mengirim pesan pada wanita itu.
Omar:
Tadi diantar siapa?Sambil menunggu balasan Khaira, Omar beranjak ke kamar mandi. Ia perlu makan sebab perutnya sudah sangat lapar.
Di tempat kerja Khaira, wanita itu membuka pesan yang masuk. Omar. Rupanya pria itu baru bangun dari tidurnya.
Pak Om:
Tadi diantar siapa?Khaira:
Naik ojek, Mas. Bayu nggak bisa antar soalnya masuk pagi.Pak Om:
Nanti pulangnya biar diantar Ardi.Khaira:
Nggak usah, Mas. Kasihan Ardi kalau antar ke rumah. Jauh lho. Biar nanti naik Go-Jek aja.Pak Om:
Ok. Aku yang jemput kalau gitu.Khaira:
Jangan!
Iya. Iya. Nanti diantar Ardi.Ya Allah. Pria itu benar-benar ... sakit saja masih suka mengancam dan merepotkan Ardi. Benar-benar sipir penjara. Ia seperti menjadi tahanan kota yang ke mana-mana harus ada pengawasnya.
Khaira:
Iya nanti biar diantar Ardi, Mas. Sampean nggak usah ke sini."Mbak Khai, lihat deh." Adiba mendekat pada Khaira di meja kasir. Ia menunjukkan postingan Instagram Omar—surat dengan tulisan tangan—beberapa detik lalu. "Ini mah nggak cuma tunangan doang, pasti dah nikah. Lihat aja dari kalimatnya." Adiba menghela napas berat. "Tapi kok Mbak Hesti nggak ada bilang ya kalau beliau nikah? Mas Ardi nggak cerita Mbak?"
Khaira menggeleng, merasa bersalah melihat raut sedih Adiba. Dia seperti bunga layu di tanah tandus. "Mas Ardi nggak pernah cerita. Eum ... Diba, kamu suka banget ya sama Pak Omar?"
Adiba mengangguk semangat. "Suka banget."
"Sampai pengen nikah sama dia?"
"Ya kalau bisa sih hehe tapi kalau lihat Pak Omar kayaknya nggak ada harapan. Lagian laki macem dia kan nggak mungkin nggak punya pasangan, pastinya ada."
"Terus tadi kok sedih?"
"Hehehe. Ya namanya suka pastilah ada sedihnya pas tahu orang yang kita suka punya pasangan tapi ya nggak yang gimana-gimana," sahut Adiba. "Tapi ya, Mbak, aku kok kayak pernah lihat tulisan ini ya. Nggak asing gitu. Maksudnya tiap orang kan punya ciri khas sendiri kalau nulis. Mau sebagus apa pun pasti ada bedanya."
"Masa sih? Perasaanmu saja kali. Wes. Buyar. Buyar. Yang istirahat duluan kamu apa aku?" Khaira harus segera menyingkir untuk menutupi kegelisahannya. Ya sebenarnya model tulisan itu tidak bisa disangkutpautkan dengannya tapi tetap saja ia takut Adiba mengetahui pemilik tulisan itu. Lagipula untuk apa sih Omar membuatnya story? Walaupun tanpa caption tetap saja menimbulkan curiga.
"Mbak dulu aja deh. Aku janjian sama Mbak Hesti. Habis ini dia ke sini."
Tbc.
Baca cepat bisa ke Karyakarsa ya. Bisa lewat web bisa lewat apk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stole Your Heart
RomanceRasyidin bersaudara#2 Meskipun belum sepenuhnya berhasil move on dari Ilmira, Omar tak berharap cinta menyapanya kembali dalam waktu dekat. Rasa-rasanya ia butuh waktu untuk menyelami hatinya. Namun, gelap hatinya mulai memudar ketika seorang wanita...