31

1.3K 335 174
                                    


Sudah dua hari Khaira di rumah bapaknya, beliau sudah sehat seperti sedia kala, dan sore ini saatnya ia pamit pulang ke rumah Omar. "Bapak boleh pinjem hp Bima atau Bayu kalau mau telpon Khai."

Karmin mengangguk. Beliau asyik makan pisang goreng yang Khaira buat.

"Makannya nggak boleh telat. Bapak juga nggak boleh jauh-jauh kalau main. Tunggu Bima."

Ayah Khaira itu mengangguk lagi. Ia kemudian menatap putrinya.

"Khai pulang dulu ya. Insyaallah lusa Khai ke sini."

Karmin merangsek memeluk Khaira. "Sayang Khai."

Ucapan Karmin membuat air mata Khaira berhamburan. Ia selalu tidak siap kalau harus pisah dengan ayahnya. "Khai juga sayang Bapak." Ia menghapus air matanya lalu tersenyum saat Karmin melepas pelukannya. "Bapak nggak boleh sakit nanti Khai sedih."

"Bapak sehat."

Khaira mengangguk. "Iya Bapak sehat. Khai seneng." Raut bahagia Karmin sangat Khaira sukai. Hatinya tak rela jika yang paling ia sayangi sedih. "Khai pulang sekarang ya." Ia mengambil satu lembar uang lima puluh ribu lalu ia masukkan di kantung kaus Karmin. "Nanti kalau mau beli jajan tunggu Bima ya."

Usai memberi pesan pada Bima, mereka pulang. Khaira memperhatikan Omar dengan seksama, mempertimbangkan apakah tepat untuk membahas perbaikan rumahnya. "Mas. Itu sampean (kamu sama seperti njenengan) yang kirim material? Kok ndak bilang saya dulu? Saya nggak bakal tahu kalau nggak pulang," gerutu Khaira. Itu rumahnya yang sudah seharusnya tanggungjawabnya kalau ada apa-apa.

"Kalau bilang, kamu mau apa?" sahut Omar tanpa melihat Khaira. Lalu lintas padat di daerah Bandulan mengharuskan ia fokus jika tidak ingin terjadi tabrakan.

"Ya kan saya bisa bantu dikit-dikit, Mas. Saya kaget waktu Bayu bilang. Kirain punya tetangga nitip, nggak tahunya buat sendiri."

"Mau bantu berapa? Sedikit itu paling nggak tiga puluh juta,"ujar Omar sambil melirik Khaira. Ia ingin tahu reaksi wanita itu. "Materialnya saja berapa, belum semua itu. Upah tukang sama kuli. Makan, rokoknya."

Khaira menghela napasnya. Uangnya tidak sebanyak itu, itu pun ia kumpulkan tiap bulan dari sisa gajinya setelah untuk ini itu. "Saya ya ndak punya kalau segitu, paling lima jutaan," cicitnya. "Saya cicil boleh? Tapi nanti kalau cicilan saya lunas." Mungkin saja negosiasi ini berhasil dengan begitu ia tidak punya utang budi pada Omar meskipun pria itu suaminya sendiri.

"Kalau gitu renovasinya dicicil juga." Omar senang sekali melihat Khaira merengut. Salah sendiri mendebat dirinya jadi akan ia jahili. Kalau di pikir-pikir ia tak jauh beda abangnya—abangnya suka melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan Ilmira dan akan mengusili Ilmira kalau mendebatnya hingga kapok —dan ya memang wanita kadang perlu dipaksa agar menurut seperti ucapan abangnya.

"Kalau renovasinya dicicil nanti rumah Bapak nggak karuan bentuknya, Mas."

"Ya gimana lagi, tukangnya kerja kan sesuai bujet."

"Kalau gitu saya boleh pake uang belanja yang Mas kasih? Kalau ditambah itu mungkin bisa agak banyak."

Omar berpikir sejenak sebelum menjawab izin Khaira. "Boleh. Itu kan uangmu tapi bantuannya juga kudu naik lagi. Ya lima puluh jutaan lah."

Tubuh Khaira meluruh di jok mobil. Tidak akan sampai walaupun ditambah uang belanjanya dua bulan ini. Jadi harus bagaimana?

Sampai kediaman Rasyidin, Khaira masih bungkam. Ia tengah berpikir bagaimana dapat uang tambahan. Saking dalamnya berpikir wanita itu sampai mengabaikan Cindy di meja makan. Khaira berhenti saat Omar menghadangnya lalu mendongak. "Ya?" tanyanya linglung.

Stole Your Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang