BM - 21

12.8K 471 30
                                    

Happy Reading!!!

***

“Ke mana aj sih, lo, Yo? Lo jomlo tapi sibuknya melebihi gue yang punya anak istri,”

Sambutan berupa cibiran itu Mario terima dari Bian ketika tiba di ruang perawatan Mutiara yang luas dan dibuat senyaman mungkin oleh si pemilik rumah sakit, yang adalah tante dari si kembar Nathan-Nathael. Dan itu juga yang membuat tidak ada siapa pun yang berani menegur apalagi mengusir banyaknya orang di ruangan ini. Sekali pun ruangan ini seakan beralih fungsi jadi tempat piknik.

Iya tempat piknik. Karena di tengah ruangan tergelar sebuah tikar dengan banyaknya makanan, dan sebagian banyak orang yang ada di sana kini sedang sibuk menikmati hidangan yang tersedia. Hanya sekilas mereka menoleh menyadari kedatangan Mario dan menyapa seadaanya lalu kembali sibuk dengan makanan masing-masing. Mario tentu saja di tawari, tapi ia menolak karena memang kebetulan ia sudah makan siang sebelumnya.

“Jomlo dia kan cuma statusnya aja, Bi, kenyataannya cewek dia ganti-ganti tiap hari,”

Dan Mario tidak sama sekali tersinggung. Toh apa yang Nathan katakan adalah kebenaran. Setidaknya itu dulu. Karena sekarang Aruna menjadi satu-satunya perempuan yang dekat dan  Mario tiduri. Tapi teman-temannya tidak perlu tahu. Kedekatannya dengan Aruna biarlah menjadi rahasia. Entah sampai kapan. Bisa jadi sampai maut datang, atau sampai salah satu dari mereka memergoki kebersamaannya dengan Aruna. Atau bisa jadi juga ia yang terang-terangan mengenalkan Aruna. Itu urusan nanti. Sekarang ia masih menikmati apa yang dirinya jalani dengan Aruna tanpa ingin memikirkan yang lainnya.

Tanpa menghiraukan cibiran teman-temannya, Mario memilih menghampiri Mutiara dan memberi perempuan itu selamat untuk status barunya yang telah menjadi ibu. Tak lupa melihat bayi mungil di box khusus yang tak jauh dari pembaringan Mutiara. Bayi itu sedang tertidur, Mario tak tega mau mengganggunya, lagi pula ia juga tidak bisa apa-apa. Menggendongnya terlalu mengerikan. Bayi itu masih terlalu kecil, Mario takut menyakitinya. Maka dari itu setelah puas menatapi si bayi dan mengobrol singkat dengan Mutiara, Mario memilih untuk ikut duduk di sofa bersama Bian dan istrinya. Ketidak beradaan Ashlyn lah yang menjadi tanyanya pertama kali.

“Ashlyn di bawa Bokap-Nyokap gue ke Singapura,” jawab Zinnia.

“Dalam rangka apa, nih? Ngasih lo berdua waktu biar bisa leluasa produksi? Mereka udah gak sabar punya cucu baru, ya?” goda Mario vulgar, membuat Zinnia langsung membuang muka, sementara Bian menendang tulang kering sahabat menyebalkannya itu. Mario sendiri hanya tertawa saja, begitu pula keluarga besar Nathan dan Mutiara yang ada di sana. Mereka bahkan ikut menimpali, membuat suasana menjadi heboh.

“Kamu sendiri kapan mau mengenalkan seseorang sama kita, Yo?” Kakeknya Nathan memberi serangan balik pada Mario. Tentu saja itu di sambut senang oleh Bian dan Zinnia yang sebelumnya menjadi objek godaan semua orang. Pasangan suami istri itu bahkan menampilkan senyum kemenangan dengan tatapan yang seakan mengucapkan, ‘Kena juga kan lo? Rasain!’

Tapi tenang saja, Mario tidak panik kok mendapat pertanyaan seperti itu. Sudah biasa. Dan seperti sebelum-sebelumnya Mario akan menjawab, “Nanti Mario langsung kirim undangan kalau udah waktunya.”

“Itu terus jawaban lo, Yo. Bosen gue dengarnya,” jawaban itu diberikan sosok yang baru saja datang, membuat mereka yang ada di ruangan itu menoleh, dan mendapati Nathael berdiri di ambang pintu dengan wajah tengil seperti biasanya. Berbanding terbaik dengan yang Mario saksikan semalam bahkan satu minggu belakangan ini. Entah kini sahabatnya itu telah baik-baik saja atau kembali berpura-pura seperti sebelumnya. Tapi yang pasti, Mario yakin ini demi kebaikan semua orang yang ada di ruangan ini. Salah satunya ibu Nathael sendiri, dan … Mutiara tentu saja.

“Sama, Kakek juga bosen banget liat kamu datang sendirian, El,”

Kakek Leo namanya, pria tua itu memang yang paling julid diantara anggota keluarga Nathan-Nathael yang lain. Tak jarang Mario di buat sebal, tapi sekarang ia senang karena setelah dirinya, Nathael pun kena juga.

Namun beda reaksi dengannya yang menanggapi santai serangan Kakek Leo, Nathael justru memberikan reaksi menggelikan, di mana wajah cemberut dan rengekan kekanakan diberikan pada ibunya. Berhasil membuat semua orang yang ada di sana geleng kepala. Mario sendiri melirik jijik sahabatnya satu itu.

Jujur, selalu ada iri setiap kali berkumpul dengan keluarga Nathan-Nathael, meski senang paling mendominasi. Seumur hidup Mario belum pernah melihat bahkan merasakan kehangatan dari keluarganya sendiri. Ia terlahir dari orang tua yang saling membenci. Bersama karena sebuah keterpaksaan dan berakhir dengan dirinya yang menjadi korban.

Mario tidak tahu harus bagaimana menceritakan keluarganya, yang jelas ia benci mereka yang membuatnya ada tapi tidak pernah di sapa kelembutan.

Andai ia diizinkan untuk memilih keluarga, Mario ingin keluarga seperti yang sahabat-sahabatnya punya. Hangat, peduli, dan memiliki limpahan kasih sayang. Sayangnya Tuhan tidak memberinya keistimewaan itu, membuat Mario mau tak mau harus pasrah menerima kenyataan hidup di tengah-tengah keluarga yang berantakan, meskipun sudah sejak lama ia memutuskan untuk tinggal terpisah dari mereka.

Di tengah obrolan seru dan tawa yang benar-benar Mario nikmati, sebuah getaran dari ponsel yang bersemayam di saku celana berhasil mengalihkannya. Keningnya mengernyit, menebak siapa gerangan yang menghubunginya, namun begitu melihat nama yang tertera sebagai pemanggil, Mario lantas bangkit dari duduknya dan pamit ke luar ruangan demi menerima panggilan dari Aruna.

Iya, perempuan itu yang menelepon. Alasan yang membuatnya menjauh, karena selain di ruang perawatan Mutiara ramai, Mario juga belum bisa berterus terang mengenai Aruna pada teman-temannya, terlebih Bian dan Zinnia yang duduk tak jauh darinya.

“Baru sebentar perasaan gue tinggal, udah kangen aja kayaknya lo sama gue, Run?” goda Mario dilanjut kekehan geli, sesaat setelah menerima panggilan Aruna. Dan tawa Mario makin lolos begitu umpatan di berikan Aruna di seberang sana.

“Gak usah kegeeran, lo!”

“Gue bukan kegeeran, memang gitu faktanya kok,” lagi Mario terkekeh. Belakangan ini menggoda Aruna berhasil menjadi kesenangannya. Lucu. Apalagi kalau wajahnya sudah menunjukkan rasa kesal. Mario selalu tidak tahan untuk tidak menciumnya dengan brutal.

“Terserah lo, Yo. Sebahagia lo aja udah. Gue telepon cuma mau bilang, barusan gue baru aja beli kalung sama anting pake kartu kredit lo. Setelah ini mau perawatan ke salon. Gue ngabarin karena takut aja lo syok liat tagihan kartu kredit lo nanti. Maka dari itu gue kasih tahu lebih dulu. Biar lo gak tiba-tiba kejang-kejang,”

“Kan gue udah pernah bilang, lo boleh pake itu sesuka lo, Run,”

“Iya. Itu makanya gue gunakan kesempatan yang lo kasih dengan baik. Teman gue tadi ngajak ke toko emas, eh gue lihat kalung sama anting yang cantik banget. Berhubung ada kartu kredit lo jadi gue gak pikir panjang, langsung bungkus!” ujarnya diiringi kekehan senang. Mario jadi penasaran …

“Berapa emang harganya?”

“Gak mahal, cuma empat puluh enam juta seratus kalau gak salah.” Jawab Aruna dengan nada terdengar ringan. Dan bohong jika Mario tidak syok mendengarnya.

“Lo emang tahu gimana caranya manfaatin gue, Run.” Mario sampai tidak bisa berkata-kata selain memuji Aruna yang begitu cerdas. Dan kalimatnya barusan di tanggapi tawa oleh Aruna di seberang sana.

“Lo emang yang terbaik, Yo. Thanks you,” ucapnya terdengar begitu manis dan tulus, meski setelahnya tawa Aruna kembali terdengar. Begitu puas dan lepas, membuat Mario tertegun. Dibandingkan kesal, senyumnya diam-diam terukir, merasa tertular oleh tawa sang wanita. Padahal Mario hanya mendengar, tidak melihat bibir itu tertarik dengan sempurna. Namun efek Aruna benar-benar luar biasa. Mario jadi berpikir, mungkinkah ini memang sudah saatnya? Mungkinkah ia memang benar-benar telah jatuh pada pesona Aruna? Satu sisi Mario belum siap. Tapi di sisi lain kenyamanan Mario rasakan setiap kali mereka bersama.

Aruna.

Kenapa perempuan itu membuatnya jadi seperti ini? Menariknya dari zona aman yang selama ini ia rasa benar. Perempuan itu berhasil mengacau. Sial, Mario malah justru merasa senang.

Hanya mendengar tawanya, Mario merasa bahwa dunia dapat dirinya gengggam dengan mudah. Terdengar hiperbola memang, tapi begitulah perasaannya berbicara.

***

Udah sih fix ini mah kamu emang udah jatuh cinta sama Aruna, Yo.

Ayo sadar, sebelum terlambat ...

See you next part!!!

Bed MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang