Happy Reading!!!
****
“Kenapa lo, Bos? Galau banget keliatannya,” olok Ari becanda.
“Sialan!” umpat Mario seraya melayangkan delikan. Namun bukannya takut, Ari malah justru meloloskan tawa, lalu mengambil duduk di kursi tinggi sebelah Mario, menatap bosnya itu dengan alis bertaut.
“Tapi serius deh, Bos, lo gak lagi ada masalah ‘kan?” pasalnya tidak biasanya ia mendapati Mario berwajah kusut, duduk seorang diri sambil menikmati minumannya. Biasanya ada salah satu sahabatnya, dan Mario yang menemani mereka dengan wajah jengah. Tapi sekarang malah Mario yang terlihat berantakan.
“Aman,” jawabnya pendek lalu kembali menuangkan minumannya ke dalam gelas dan meneguknya sekaligus.
Bukan hal aneh sebenarnya, Ari jelas tahu bahwa Mario dan alkohol adalah teman sejati. Tapi menjadi tidak biasa dengan raut wajah Mario yang jauh dari biasanya. Seperti ada sesuatu, namun entah apa itu. Ari tidak pernah dapat menebak setiap ekspresi Mario, Bosnya itu terlalu pandai menyembunyikan masalahnya. Hanya saja sekarang Ari yakin Mario tidak sedang dalam suasana hati yang baik. Terlihat jelas dari caranya minum, juga sorot matanya yang redup.
Jam masih menunjuk di angka tujuh. Masih terlalu siang untuk kelab beroprasi normal. Sebagai karyawan ia bahkan baru datang, sementara Mario sudah standby entah dari kapan. Tidak ada yang salah memang, toh pria itu pemiliknya. Jam berapa pun Mario ingin datang dan minum tidak akan ada yang melarang.
Tapi ..., tetap saja ini mengherankan. Di jam-jam seperti ini biasanya Mario belum datang, atau justru berkutat dengan pekerjaan atau perempuan, bukan duduk di depan meja bar seperti sedang patah hati.
Atau memang benar begitu?
Menggelengkan kepala cepat-cepat, Ari merasa konyol dengan pemikirannya sendiri. Pasalnya, mana mungkin. Yang ada juga Mario yang membuat patah hati para perempuan, mengingat kebiasaannya adalah meniduri lalu mencampakannya begitu saja.
Mario bahkan tidak pernah mau memedulikan mereka yang merengek meminta dipuaskan lagi. Bagi Mario perempuan itu seperti kondom, sekali pakai langsung buang. Berengsek memang. Tapi Ari tidak berhak menghakimi bosnya ‘kan? Toh ia juga kadang tidak jauh berbeda.
“Cewek yang kemarin datang gak apa-apa ‘kan waktu ketemu si Bian?” tanya Ari ketika tiba-tiba saja teringat pada sosok cantik yang belakangan selalu datang ke bar dan terlihat dekat dengan Mario. Dan kemarin perempuan itu datang mencari Mario, begitu pula dengan Bian dan Nathael yang memang telah menjadwalkan pertemuan dengan bosnya itu.
Ari melupakan itu kemarin malam. Lupa bahwa Bian dan Aruna adalah mantan, yang belum tentu mengharapkan pertemuan. Sekarang ia penasaran mengenai apa yang terjadi di ruangan Mario kemarin. Adakah kecanggungan? Atau justru lebih dari itu?
Tapi, melihat dari reaksi Mario yang tiba-tiba diam dengan tatapan yang semakin tidak bisa diartikan, sepertinya Ari tahu bahwa memang ada hal yang terjadi.
“Lo gak kepergok lagi mesumin mantannya si Bian ‘kan, Yo?”
Entah itu tuduhan atau justru tebakan asal, yang jelas Mario refleks melirik pada bartendernya itu. Membuat Ari meringis dan menggaruk tengkuknya salah tingkah.
“Becanda Bos,” cicitnya takut. Tapi Mario tidak sama sekali bereaksi, tetap menatap Ari dengan air muka tak terbaca. Namun di detik selanjutnya sebuah helaan nafas Mario loloskan, kemudian memalingkan muka dan meneguk vodka langsung dari botolnya, hingga sisa yang sebelumnya masih setengah kini berkurang lebih banyak. Ari sampai meringis melihat itu, tapi tak urung merasa bingung.
“Bos—”
“Dia emang sialan! Di saat gue udah setuju untuk gak memedulikan apa yang Si Bian dan Nathael katakan, dia malah justru mundur,” mendengus kesal, Mario lalu kembali meneguk sisa minumannya hingga tandas. “Dia pikir dia siapa berani permainin gue? ” lanjutnya dengan tatapan tajam dan rahang mengeras. Tangannya yang mengepal seakan siap meninju seseorang. Ari jadi ngeri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bed Mate
General FictionAndai yang mabuk-mabukan di barnya bukan Aruna, Mario tidak akan peduli. Namun karena yang berada di depannya adalah mantan tunangan dari sahabatnya, mau tak mau Mario akhirnya memutuskan untuk menemani. Niatnya tak lebih dari itu, tapi siapa yang m...