Happy Reading!!!
****
“Dia siapa lo?” tanya Mario ketika mereka kembali ke mobil setelah Aruna menyelesaikan urusannya dengan sebuah nisan yang sempat Mario baca ukiran namanya.
Laki-laki. Dan itu membuat Mario akhirnya penasaran. Masalahnya Aruna mau repot-repot datang hanya karena ini hari ulang tahun sosok yang sudah tidak bernyawa itu. Tidak mungkin jika itu bukan seseorang yang berarti untuk Aruna.
“Sepupu gue,” kesedihan dapat jelas Mario lihat di netra Aruna. Di susul hembusan nafas berat. Mario jadi semakin penasaran. Ia yakin ada kisah yang tersimpan. Aruna terlihat terluka saat ini.
“Mau cerita?” Mario menawarkan, siapa tahu Aruna memang butuh teman untuk berbagi kesedihannya.
Aruna diam, tatapannya dalam tertuju pada Mario yang tak kalah dalam menatapnya, hingga di detik selanjutnya Aruna mengalihkan pandangan, menatap lurus ke depan. Mario pikir Aruna enggan berbagi kisahnya, tapi siapa yang menyangka bahwa ternyata perempuan itu membuka suaranya, menceritan tentang sosok yang namanya terukir dalam nisan.
Tristan, sepupu laki-laki Aruna yang katanya begitu dekat dengannya. Pria itu meninggal karena bunuh diri tiga tahun lalu, rasa bersalah membuatnya depresi karena telah berusaha memperkosa mantan kekasihnya. Dan kematiannya membuat Aruna kehilangan.
Mario dapat memahami perasaan Aruna. Namun Mario tidak bisa memberi kalimat apa-apa untuk menenangkan wanita itu. Sepupu Aruna salah, dan untuk kasusnya Mario tidak bisa memberikan sosok itu pembelaan. Maka dari itu yang Mario lakukan hanya memberi Aruna sebuah pelukan. Berharap itu bisa sedikit membuat Aruna merasa lebih baik.
Aruna memang tidak menangis, tapi kesedihan yang perempuan itu tampilkan tidak lantas bisa di abaikan. Untung saja tidak butuh waktu lama untuk mengmbalikan suasana hati Aruna, karena tak lebih dari sepuluh menit perempuan itu sudah kembali tampak biasa, dan Aruna mengajaknya untuk meninggalkan pemakaman. Lagi pula hari sudah semakin sore, langit pun menunjukan tanda-tanda akan hujan, membuat Mario langsung saja membukakan pintu mobilnya untuk Aruna.
Iya, pada akhirnya mereka pergi bersama. Aruna menitipkan mobil di tempat temannya yang berlokasi tidak jauh dari bank di mana perempuan itu bekerja. Aruna bilang pemborosan jika mereka menggunakan mobil masing-masing. Selain itu juga jalanan jadi semakin padat dan polusi bertambah banyak.
Mario hanya merotasikan bola mata saja untuk alasan-alasan yang diberikan Aruna, walau dalam hati ia juga senang. Seperti yang dibilang, setidaknya mereka bisa mengobrol selama diperjalanan.
Dan mengenai kesibukan Aruna lah yang menjadi pembahasan mereka sepanjang perjalanan. Lebih tepatnya Aruna yang mengeluh dengan pekerjaannya yang cukup membuat pusing.
“Pecel lele apa sate?” tanya Mario begitu melaju meninggalkan kompleks pemakaman.
Aruna tak lantas menanggapi, menatap Mario dengan sebelah alis terangkat, merasa tak paham akan maksud pria itu yang tiba-tiba saja memberinya pilihan. Dan Mario yang menyadari itu sontak meloloskan dengusannya. “Makan. Gue lapar,” membuat Aruna menganggukkan kepala, mengerti. Dan pecel lele menjadi menu yang dipilihnya.
Namun sebelum itu sebuah cibiran di berikan Aruna untuk Mario yang sepertinya tidak bisa seperti laki-laki lainnya. Maksudnya bertanya mau makan apa, bukan langsung memberi pilihan seperti yang dilakukan laki-laki itu barusan.
“Gue males dengar jawaban cewek yang selalu bilang terserah, atau mikir panjang yang akhirnya malah nanya balik. Lagian gue yang lapar dan dua menu itu yang lagi gue pengen sekarang.” adalah jawaban yang Mario berikan. “Lo gak masalah ‘kan makan di pinggir jalan?” tanya Mario kemudian untuk sekadar memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bed Mate
General FictionAndai yang mabuk-mabukan di barnya bukan Aruna, Mario tidak akan peduli. Namun karena yang berada di depannya adalah mantan tunangan dari sahabatnya, mau tak mau Mario akhirnya memutuskan untuk menemani. Niatnya tak lebih dari itu, tapi siapa yang m...