BM - 22

12.2K 410 25
                                    

Happy Reading!!!

****

Mario sedang meracik minuman untuk pelanggannya ketika melihat kedatangan Aruna. Entah apa yang dilakukannya, ini bukan weekend. Besok perempuan itu masih harus bekerja. Bisa-bisanya sekarang datang ke bar.

Baik, Mario akui rindu itu memang dirinya miliki, tapi melihat kedatangan Aruna ke bar membuatnya bertanya-tanya. Dan karena enggan sekadar menebak-nebak, akhirnya Mario meminta Ari untuk melanjutkan pekerjaannya, sementara ia menghampiri Aruna yang terlihat celingukan dengan langkah semakin masuk dan kebingungan nampak di wajahnya.

Weekday tidak membuat bar-nya sepi, meskipun tidak begitu ramai. Tapi itu justru membuat kedatangan Aruna mudah menjadi perhatian. Bahkan sudah ada yang menghampiri Aruna dan berusaha mengajak perempuan itu kenalan. Namun tidak dihiraukannya. Perempuan itu terus berjalan dan sesekali sibuk pada ponselnya.

Entah siapa yang sedang dihubunginya, yang jelas itu membuat Mario semakin penasaran. Dan begitu tiba di hadapannya, Mario tidak menunggu lama untuk bertanya, “Lo ngapain ke sini?”

Keterkejutan nampak jelas di wajahnya, namun lega segera menggantikan ekspresinya kala melihat siapa yang menghampiri dan menegurnya.

“Nyari teman gue. Dia telepon minta jemput. Kayaknya mabuk deh, soalnya suara dia gak jelas tadi. kedengarannya juga abis nangis. Makanya gue bela-belain datang padahal udah mau tidur,” terangnya dengan raut khawatir yang tidak dapat di sembunyikan.

Mario mengangguk-anggunkan kepalanya paham, lalu matanya ikut menjelajah, mencari sosok yang Aruna cari, walaupun ia tidak begitu hafal wajah-wajah teman Aruna. “Gue temenin lo nyari,” putus Mario, lalu membawa Aruna mendekati area dance floor yang tidak begitu padat. Siapa tahu teman Aruna ada diantara mereka. Tapi ternyata mereka tidak menemukannya. Membuat kekhawatiran semakin nampak di wajah Aruna.

“Coba lo hubungi lagi,”

Dan tak butuh diminta dua kali, Aruna langsung melakukannya. Sial panggilannya tidak tersambung. “Ponsel temen gue kayaknya mati deh, Yo. Gimana dong?” Aruna benar-benar panik.

“Kita cari di atas,” tanpa menunggu persetujuan Aruna, Mario menarik perempuan itu menaiki undakan tangga. Di lantai dua terdapat meja VIP dan di atasnya ada lantai tiga dimana ruang VVIP berada, lantai dua dan lantai tiga adalah tempat orang-orang yang memiliki uang berlebih dan membutuhkan privasi. Kebanyakan dari mereka memiliki kartu keanggotaan sebagai pelanggan tetap kelabnya. Mario sedikit ragu teman Aruna ada di sana. Pasalnya Mario cukup mengenal orang-orang yang selalu mengisi lantai atas. Tapi tidak menutup kemungkinan juga teman Aruna ada di sana.

Sesuai dugaan, orang yang Aruna cari memang ada di sana. Duduk salah satu sofa yang berada dalam ruangan berdinding kaca, terlihat mengenaskan dengan penampilannya yang berantakan juga air mata mengalir lancar. Hal itu membuat kekhawatiran Aruna semakin menjadi, bahkan Aruna sampai berlari untuk menghampiri temannya, dan menariknya ke dalam pelukan. Pertanyaan demi pertanyaan Aruna layangkan, tapi yang di tanya malah justru semakin keras menangis.

Sejujurnya Mario tidak suka, ia risi dengan tangisan perempuan, tapi Mario tidak bisa meninggalkan Aruna. Maka dari itu mau tak mau Mario akhirnya memilih mengambil duduk di sofa single yang ada di ruangan itu juga, menunggu Aruna menenangkan temannya yang terlihat seperti korban pemerkosaan, meskipun tidak sepenuhnya sih, karena tidak ada lebam atau jejak-jejak pemaksaan. Hanya kondisi saja yang terlihat berantakan.

“Sekarang lo bisa jelasin kenapa bisa kayak gini?” tanya Aruna ketika temannya sudah lebih tenang. “Dan kenapa lo sendirian?” lanjutnya merasa heran.

“Noel udah pergi,”

“Maksud lo?”

“Tadi gue ke sini sama Noel. Tapi dia pergi setelah bilang kalau dia gak bisa lanjut sama gue,”

Bed MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang