BM - 35

8.5K 440 108
                                    

Happy Reading!!!

***

“Lo kebiasaan banget deh, Yo, nyamperin gue malam-malam gini,” sebal Aruna begitu sudah duduk di jok penumpang depan, bersampingan dengan Mario.

Beberapa menit lalu pria itu menghubungi, mengatakan keberadaannya dan meminta ia untuk menghampiri. Tapi berbeda dengan kemarin, sekarang pria itu tidak memaksanya untuk datang, namun nada suaranya terdengar memohon. Aruna jadi ingat malam beberapa minggu lalu. Saat itu Mario juga datang dalam keadaan seperti ini. Terlihat murung dan tidak baik-baik saja.

Entah apa yang sudah terjadi pada pria itu, karena yang Aruna ingat Mario terlihat bersemangat ketika mengatakan akan pergi ke kelab untuk mengurus pekerjaannya. Namun, belum juga tengah malam, pria itu sudah pulang. Lebih tepatnya mendatanginya.

Mungkinkah …?

Berdeham terlebih dulu, Aruna kemudian memiringkan duduknya dan menatap Mario dengan serius, siap mendengar apa pun yang akan diceritakan kekasihnya.

Kekasih?

Ah ya, sekarang ia bisa menyebutnya begitu, karena meskipun tidak ada jawaban setuju keluar dari mulutnya, Mario sudah menekankan berkali-kali mengenai status mereka saat ini, dan Aruna pun harus mengakui bahwa tidak ada pertentangan dalam hati. Mulutnya saja yang membual, berlaga tak senang nyatanya kupu-kupu beterbangan di dadanya.

Jadi tidak masalah ‘kan Aruna menyebutnya demikian? Kekasih.

Belum genap satu tahun padahal dirinya putus dari Bian, luka yang ditorehkan pria itu bahkan belum hilang sama sekali, tapi ia sudah memiliki kekasih saja. Entahlah ini benar-benar pelarian atau justru dirinya juga menginginkan Mario. Yang pasti biar ia nikmati saja hubungan baru ini.

“Bokap lo datang lagi?” tebak Aruna setelah mengingat alasan Mario berwajah muram beberapa waktu lalu. Namun Mario menggeleng, bikin Aruna mengerutkan kening. “Terus kenapa gelisah gini?”

Tak lantas menjawab, Mario lebih dulu menarik dan membuang nafasnya, kemudian meraup wajahnya dengan tangan kosong.

Niatnya ia akan menemui Aruna besok saja mengingat sudah jam berapa sekarang, tapi ia tidak bisa tenang, apa yang Nathael katakan terus mengiang, bahkan hingga sekarang. Entahlah, tapi semua yang Nathael katakan seakan benaknya benarkan. Tentang perasaannya yang tidak pernah baik-baik saja, tentang kebahagiaan yang tidak sempurna dirinya rasakan, juga tentang gejolak hatinya yang sebenarnya penasaran akan kondisi ibunya.

Dendam dan kecewa yang dimilikinya tidak sedalam yang selama ini dirinya fikirkan, karena ternyata jauh di dalam sudut hatinya ada kekhawatiran yang ia samarkan.
Nathael bilang, mungkin ini kesempatan terakhirnya

Itulah yang akhirnya membuat Mario nekat menghampiri Aruna.

“Menurut lo, gue harus nemuin dia gak?”

“Siapa?”

“Iblis itu,” jawab Mario tetap enggan menyebut wanita itu ibu.

Aruna diam, berusaha mencerna siapa yang sedang Mario maksud. Sampai akhirnya cerita kemarin malam melintas dalam benaknya. Dan akhirnya Aruna tahu siapa iblis yang laki-laki itu maksud. Namun Aruna tidak lantas bisa menjawab, karena jujur saja ia sendiri pun bingung.

Aruna ingat bagaimana luka itu menyorot di kedua mata Mario saat pria itu mengisahkan masa kelamnya. Begitu dalam dan menyakitkan. Membayangkannya saja Aruna ngeri, apalagi berada di posisi Mario saat itu. Makanya sekarang Aruna tidak tahu harus memberi tanggapan apa untuk saran yang Mario butuhkan.

“Ari bilang kemarin bokap gue datang lagi. Minta gue untuk menemuin iblis itu. Dan Nathael bilang mungkin ini kesempatan terakhir gue. Menurut lo, apa gue harus menemui iblis itu?” sekarang atensi Mario sepenuhnya tertuju pada Aruna, ia benar-benar butuh perempuan itu untuk membantu memecahkan kegelisahannya.

Bed MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang