BM - 27

12K 469 32
                                    

Happy Reading!!

***

“Gue tahu lo berengsek, Yo. Tapi gue gak nyangka kalau Aruna lo embat juga,” Nathael menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir seraya menatap Mario yang sejak tadi hanya diam. Beradu tatap dengan Bian yang tak kalah diamnya.

Entah telepati apa yang sedang dua orang itu lakukan, yang jelas Nathael merasa pening sendiri mendapati kenyataan Mario dan Aruna. Jika hanya terlihat bersama seperti beberapa waktu lalu mungkin Nathael akan masa bodo, tapi tadi ia melihat Aruna nyaris telanjang dengan tangan Mario yang asyik menjamah sana sini. Siapa pun tidak akan berpikir bahwa itu cuma salah paham.

Baiklah, melihat Mario dengan seorang perempuan memang bukan hal yang baru. Tapi kali ini Nathael tidak bisa hanya berdecak sebal saja. Perempuan yang bersama Mario tadi Aruna. Mantan tunangan dari sahabatnya sendiri. Nathael jadi penasaran ada apa sebenarnya dengan otak sahabat satunya itu.

“Dia mantan si Bian lho, Yo?!”

“Ya terus?” beralih pada Nathael, Mario menatap temannya itu dengan sebelah alis terangkat.

What? “ mengubah duduknya jadi lebih condong ke depan, Nathael semakin menatap Mario dengan tak habis pikir. “Lo serius nanya kayak gitu? Mario—”

“Aruna perempuan single, begitu juga gue.” sela Mario tenang.

“Gue tahu. Tapi dia mantan tunangan teman lo sendiri, Yo!”

“Masalahnya di mana? Cuma mantan ‘kan? Lagian Si Bian juga udah punya Zinnia. Udah nikah. Gak mungkin banget dia balik sama Aruna.”

“Ya emang. Tapi gak seharusnya lo sama dia, Yo,”

“Kenapa? Di persahabatan kita gak ada larangan itu kok,” bantah Mario heran. Atau lebih tepatnya pura-pura heran?

Entahlah.

“Memang. Tapi kalau lo cuma mau main-main, kenapa harus sama Aruna?” kali ini Bian yang membuka suara. “Dia gak kayak cewek-cewek lo yang lain, Yo,” tidak ada emosi, tapi dari sorot matanya Mario dapat melihat kekecewaan. Percis seperti yang pernah dirinya bayangkan.

“Gue tahu.”

“Terus kenapa lo lakuin ini?” sahut Bian cepat.

Mario diam, sementara tatapannya kembali beradu dengan tatapan Bian yang tajam. Mulutnya berkali-kali ingin terbuka, tapi tidak bisa. Ada sesuatu yang menghalanginya, entah apa itu. Yang pasti mengakui bahwa Aruna mampu membuat dunianya berubah masih belum dapat dirinya ungkap.

“Sampai hari ini gue masih merasa bersalah sama dia, Yo,” kembali Bian membuka suaranya, dan tatapan tajamnya semula berganti dengan sesal yang tidak di jelaskan pun Mario tahu sedalam apa. “Dan melihat lo sama dia bikin gue makin merasa bersalah,” lanjutnya dengan tatapan sendu. Dan itu berhasil membuat Mario bergeming.

“Andai gue gak mengenal lo, Yo, mungkin gue akan biasa saja melihat lo sama Aruna. Tapi gue tahu lo, Yo. Gue tahu trauma dan ketakutan lo. Dan meskipun gak banyak, tapi gue tahu perempuan seperti apa Aruna. Dia perempuan yang baik, dia perempuan yang tulus. Dia layak untuk mendapatkan cinta.”

Mendesah pelan, Bian menjeda kalimatnya, memijat keningnya yang terasa berdenyut sebelum kembali menatap Mario yang masih menutup mulutnya dengan tatapan lurus ke depan. Entah apa yang sedang dipikirkan, Bian tidak bisa menerkanya.

“Andai saja lo bukan laki-laki yang takut akan komitmen, andai saja lo bukan sahabat gue yang senang main perempuan, mungkin gue akan bereterima kasih karena lo membantu gue mengurangi rasa bersalah gue sama Aruna. Sialnya lo laki-laki yang enggan mengenal cinta, lo laki-laki yang malas terlibat perasaan semacam itu, dan gue gak bisa membiarkan lo menambah luka Aruna. Gue gak bisa melihat dia semakin hancur, Yo. Cukup gue. Cukup gue yang menjadi bajingan dihidupnya. Jangan di tambah dengan lo juga. Gue gak bisa membayangkan akan sehancur apa dia nanti,” lirihnya.

Bed MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang