BM - 40

10.7K 504 79
                                    

Happy Reading!!!

***

“Jadi, apa yang nyokap lo kasih?” tanya Aruna begitu duduk di samping Mario selesainya ia membersihkan diri.

Tadi, begitu ia bangun tidur, Mario sudah terlihat kembali memperhatikan kotak pemberian ibunya. Mario sempat bertanya, haruskah dia membukanya sekarang? Dan Aruna menyarankan agar Mario melakukannya. Tapi dari pada menunggu dan menemaninya, Aruna memilih untuk memberi ruang untuk Mario.

Menurutnya Mario butuh waktu sendiri. Maka dari itu Aruna memutuskan untuk mandi. Sengaja lama, karena siapa tahu Mario menangis selama membuka pemberian ibunya.

Namun sepertinya tidak. Raut wajah Mario masih datar seperti biasanya. Jejak air mata pun tidak Aruna temukan di sana. Tapi tidak tahu dengan isi hatinya. Aruna tidak bisa menebak. Mario terlalu pandai menyembunyikan perasaannya.

“Kunci rumah, surat, sama lukisan,” jawabnya seraya menunjukkan satu per satu barang pemberian ibunya.

“Nyokap lo pelukis? Bagus banget lukisannya,” puji Aruna sembari meraih lukisan bertema pemandangan malam di sebuah taman yang begitu cantik. Dan tiga siluet manusia yang tengah duduk di hamparan tikar sambil menghadap danau yang juga berada dalam lukisan tersebut menjadi hal yang paling menarik. Ketiga siluet itu menggambarkan sebuah keluarga. Sepertinya tanpa di jelaskan pun Aruna tahu siapa saja yang ada di sana.

“Gue gak tahu siapa yang lukis, tapi di balik lukisan itu nyokap bilang, Boleh gak sih Mama berharap keluarga kecil kita bisa seperti yang ada di lukisan ini? Tapi apa mungkin Mama punya kesempatan itu?”

Aruna langsung membalik lukisan tersebut, dan benar, ibu Mario menuliskannya. Tulisannya tidak begitu rapi, tapi masih dapat di baca dengan jelas.

“Selama ini yang gue tahu wanita itu artis, pemain film. Dan konflik yang terjadi di antara orang tua gue selalu berkaitan dengan itu. Wanita itu selalu ungkit soal mimpi dan cita-citanya yang hancur gara-gara pernikahan itu. Gara-gara gue. Saat itu gue gak ngerti apa pekerjaannya, yang jelas wanita itu jarang ada di rumah. Pulang-pulang pasti marah-marah dan gue selalu jadi pelampiasannya,”

Mendesah berat, Mario menghentikan ceritanya, lalu melirik Aruna yang duduk di sampingnya. “Gue mau tahu tentang wanita itu, Run. Lo mau nemenin gue gak?”

“Ke mana?” Aruna menaikan kepalanya agar bersitatap dengan Mario yang meski tidak menampilkan kesedihan, namun sorot matanya terlihat bingung dan juga hampa. Bikin Aruna tahu Mario tidak sepenuhnya baik-baik saja.

“Ke rumah yang wanita itu maksud.”

Dan Aruna tentu saja mengangguki. Ia tidak keberatan menemani Mario ke mana pun pria itu mau. “Kapan?”

“Sekarang boleh?”

“Oke. Gue pakai baju dulu.” Sebab sekarang Aruna masih menggunakan kimono handuknya. Tapi tenang saja ia sudah mengenakan dalamannya kok.

“Kerjaan lo?” Mario baru sadar kalau ternyata dari kemarin Aruna bolos bekerja karena terus menemaninya.

“Berhenti aja lah gue. Cape kerja mulu.”

“Lah? Serius lo, Run?”

“Iya. Mau beralih propesi aja, jadi istri lo,” jawab Aruna begitu ringan. Mengejutkan Mario yang lantas menegakkan duduknya dan menatap Aruna yang sudah sibuk memilah pakaiannya di dalam lemari. Tak bohong bahwa kini jantungnya berdebar tak terkendali di dalam sana.

“Run, lo—”

“Becanda, Yo,” menyela cepat, Aruna lalu membalikan tubuhnya dan mengerlingkan sebelah mata. Sontak saja umpatan Mario loloskan.

Bed MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang