BM - 18

13.7K 432 20
                                    

Happy Reading!!!

***

“Lo ke mana aja sih, Yo? Di telepon dari tadi susah banget!” gerutu seseorang di seberang sana, sesaat setelah ponselnya ia dekatkan ke telinga begitu tombol hijau dirinya geser.

“Gue lagi sibuk,”

Sibuk apa? Nidurin cewek!”

Dan masih dengan santai Mario kembali menanggapi. “Nah itu lo tahu,” pasalnya Bian benar, ia memang sedang meniduri perempuan ketika ponselnya sibuk berdering. Untung saja benda itu tertinggal di ruang tamunya jadi suara deringannya tidak begitu menjengkelkan untuknya yang sedang mengejar kenikmatan. Ini ia baru saja selesai dan Aruna sedang tertidur di ranjangnya setelah berkali-kali dirinya buat orgasme.

“Ck, sialan emang lo, Yo! Bukannya tobat, malah makin jadi aja.”

Namun Mario tidak sama sekali menghiraukan. “Ada apa lo nelpon?” ingin segera mengakhiri panggilan ini, Mario bertanya tujuan Bian menghubungi. Lagi pula ia lelah. Tak jauh berbeda dengan Aruna, ia juga butuh istirahat segera. Baru jam delapan malam memang, tapi tak ada salahnya kan tidur lebih awal?

“Si Mut-Mut mau lahiran. Gue udah di rumah sakit sama Zinnia. Lo mau ke sini gak?”

Mario diam, tak langsung menanggapi. Benaknya langsung memikirkan Nathael yang belakangan memang sering datang ke barnya sesuai yang ia prediksikan. Dan sekarang … mungkinkah sahabatnya itu juga berada di barnya?

“Si El di sana juga gak?” setidaknya ia perlu memastikan lebih dulu. Namun ketika sebuah desahan pelan Bian loloskan, Mario tahu bahwa tebakannya tak salah. Nathael tidak ada di rumah sakit.

Dia sulit di hubungi, Yo,”

Mario sudah menduga itu. “Keluarganya ada yang nyari dia?”

Gak ada. Tadi gue sempat dengar Om Rapa bilang kalau si El lagi di KL. Urus kerjaan katanya. Tapi, Yo, kok gue gak yakin, ya?”

Sama. Mario juga tidak meyakini itu. Justru ia yakin bahwa itu cuma alasan Nathael saja supaya tidak di teror mengenai ketidakberadaannya, mengingat yang keluarganya tahu Nathael sudah rela Mutiara di miliki kembarannya. Mereka tidak tahu bagaimana perasaan Nathael yang sesungguhnya. Nathael begitu pandai menyembunyikannya. Menipu semua orang dengan tingkah menyebalkannya. Tapi sepertinya kali ini pria itu tidak bisa bersikap seolah baik-baik saja. Maka dari itu pergi menjadi pilihannya.

“Lo dengar gak dia pergi dari kapan?”

Satu minggu yang lalu,” jawab Bian cepat. Sedangkan Mario terdiam, tebakannya benar, pekerjaan di KL hanyalah alasan. Faktanya Nathael tidak pergi ke mana-mana. Satu minggu ini Nathael semakin sering datang ke barnya untuk mabuk-mabukan. Baru semalam pria itu tidak datang. Dan untuk malam ini ia belum memastikan.

“Kalau gitu gue gak ke rumah sakit sekarang, Bi. Gue mau coba cari dia dulu. Sebisa mungkin lo jangan bahas-bahas si El di depan Mutiara sama si Nathan. Lo iyain aja kalau mereka nanya,” bukan apa-apa, Mario hanya tidak ingin kembali terjadi kecanggungan diantara sahabat kembarnya. Lagi pula ia yakin Nathael hanya butuh waktu untuk kembali bersikap baik-baik saja seperti biasanya. Nathael tidak pernah memiliki niat menghancurkan hubungan saudara kembarnya. Nathael sudah merelakan, hanya saja untuk mengikhlaskan sepenuhnya, pria itu masih membutuhkan waktu.

Mario memang tidak pernah berada di posisi sahabatnya itu, tapi ia dapat memahami bagaimana kecamuk yang Nathael rasakan. Hidupnya boleh tak teratur, berengsek pun memang sudah menjadi nama tengahnya, tapi hatinya belum mati. Ia bisa merasakan perasaan melankolis yang sahabat-sahabatnya rasakan. Ia bisa memahami Bian yang ditinggal pergi Zinnia bertahun-tahun lalu, juga dapat memahami perasaan Nathael saat ini. Apa lagi ia adalah saksi bagaimana kerumitan kisah cinta sahabat-sahabatnya itu.

“Oke. Jangan lupa kabarin gue kalau lo ketemu dia,”  pinta Bian. “Gue harap dia baik-baik aja,”
Itu juga yang Mario harapkan. Tapi ia tahu bahwa itu tidak mungkin.

֎֎

“Run, gue tinggal gak apa-apa ‘kan?” bisik Mario tepat di depan telinga Aruna. Ia tidak tega membangunkan wanita itu. Tapi pergi begitu saja tidak bisa dirinya lakukan. Entahlah. Namun yang pasti ia tidak bisa bersikap seenaknya pada Aruna. Mario selalu merasa tak tenang. Maka dari itu sekarang ia memilih untuk mengatakan kepergiannya.

“Lo mau ke bar?” dengan suaranya yang khas orang mengantuk, Aruna bertanya. Matanya yang tetap terpejam menandakan bahwa perempuan itu menyahuti dalam keadaan setengah sadar.

“Gue mau nyari Si El,”

“Dia kabur?” kening Aruna mengerut, tanda kebingungan, namun matanya tetap saja tertutup. Mario tidak mengerti sebenarnya Aruna itu sadar atau justru tengah bermimpi. Tapi apa pun itu setidaknya Aruna mendengarkan kalimatnya.

“Lagi nenangin diri aja mungkin. Gue cuma pengen mastiin dia baik-baik aja.”

“Emangnya dia kenapa?” barulah kali ini mata Aruna terbuka meski sedikit.

“Panjang ceritanya. Lain kali aja gue jelasin. Sekarang gue harus pergi. Lo gak apa-apa gue tinggal sendiri?” kembali Mario memastikan.

“Gak apa-apa. Lo pergi aja.”

“Tapi lo gak akan pulang ‘kan?” jujur saja Mario tak rela. Katakanlah ia masih merindukan Aruna. Ia masih ingin bersama wanita itu. Bahkan kalau bisa dirinya tidak usah pergi. Tapi ia juga tidak akan tenang jika belum memastikan keberadaan Nathael serta keadaannya. Siapa tahu ‘kan temannya itu bertindak nekat. Mencoba bunuh diri misalnya. Karena yang Mario tahu manusia akan bertindak bodoh saat merasa putus asa.

“Hm. Gue nginep di sini,”

Mendengar itu sebuah senyum terpatri di bibir Mario. Kemudian satu kecupan di daratkannya di bibir tipis Aruna yang sudah kembali memejamkan matanya. “Gue usahakan balik cepat.”

“Yang lama aja, Yo. Biar gue bisa benar-benar istirahat,” cepat Aruna menyahut. Dan hal itu sontak membuat umptan Mario loloskan, di iringin dengusan sebalnya. Namun setelahnya memilih untuk bangkit, tidak ingin lebih lama membuang waktu. Bukan karena terlalu khawatir pada sahabatnya yang kemungkinan tengah galau, tapi karena ingin segera memberi Aruna hukuman. Mario janji akan membuat Aruna terengah di bawah kuasanya setelah ini.

“Gue pergi,” ucap Mario setelah mengambil asal jaketnya di lemari. “Jangan kangen,” tambahnya disusul satu kecupan di pelipis Aruna yang tertidur menyamping, membelakangi keberadaanya.

“Hm,” hanya itu tanggapan Aruna. Entah malas atau benar-benar ngantuk, Mario enggan mempermasalahkan itu. Toh, untuk apa? Mereka tidak dalam hubungan yang mengharuskan hal sepele semacam itu menjadi perkara besar. Maka dari itu Mario memilih untuk mengayun langkahnya keluar dari apartemen sambil berusaha menghubungi Nathael.

Tapi seperti yang Bian bilang, sahabatnya itu sulit di hubungi bahkan kini nomornya sudah tidak aktif. Entah karena sengaja di matikan atau memang kehabisan daya, yang jelas Nathael berhasil membuatnya kerepotan.

“Untung kembarannya gak ikut nyusahin gue,” dengusnya pelan, lalu beralih menghubungi orang kepercayaannya di bar, menanyakan keberadaan Nathael yang bisa saja ada di sana untuk mabuk-mabukan seperti beberapa minggu belakangan ini. Sial, Nathael tidak datang ke tempatnya. Di cari ke apartemen dan tempat kerjanya pun tidak ada, Mario jadi bingung sendiri ke mana dirinya harus mencari.

“Kalau niat bunuh diri, gue harap lo cari tempat loncat yang akan bikin lo langsung mati, El. Bukan apa-apa, gue cuma gak mau aja nantinya lo malah makin ngerepotin gue,” monolognya kala kembali gagal menghubungi nomor ponsel Nathael. “Lagipula itu juga biar sekalian aja lo rasain sakitnya. Karena gue tahu sakit berkali-kali itu gak enak.” Lanjutnya masih bermonolog sambil sibuk pada ponsel dan kemudi. Kali ini bukan Nathael yang Mario hubungi, melainkan asisten sahabatnya itu. Siapa tahu Nathael memang pergi ke luar kota atau bahkan luar negeri, walaupun yakin bahwa melarikan diri adalah tujuannya.

Mario ingin sekali mengatai sahabatnya itu pengecut, tapi tidak bisa. Ia tidak mau meremehkan permasalahan yang dimiliki orang lain. Karena tidak semua mental manusia sama. Ada masalah yang kita anggap sepele justru teramat berat untuk orang lainnya. Begitupun sebaliknya. Maka dari itu Mario berusaha untuk menghargai sekecil apa pun permasalahan orang-orang di sekitarnya.

***

Bersambung ...

Bed MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang