Happy Reading!!!
***
“Lo udah siap?” tanya Mario begitu sambungan teleponnya di terima Aruna di seberang sana.
“Dikit lagi. Lo udah di jalan?”
“Hm. Paling lima belas menit lagi gue sampai di rumah lo,” jawab Mario sembari fokus menatap jalanan di depannya. “Ngomong-ngomong, apa lo yakin gak masalah ketemu Bian sama Zinnia nanti?”
Mario ingin memastikannya sekali lagi. Ia hanya tidak ingin membuat perempuan itu tidak nyaman nantinya. Nanti ia tidak mungkin bisa membawa Aruna pulang cepat. Yang menikah adalah sahabat baiknya, lebih dari itu orang tua Nathael telah menganggap dirinya keluarga. Tidak enak rasanya jika harus meninggalkan acara lebih awal.
Bukan berarti Mario tidak peduli pada perasaan Aruna dan ingin mengesampingkannya, ia ingin menghargai keduanya. Keluarga Nathael juga Aruna yang adalah kekasihnya. Untuk itu Mario ingin memastikannya sekali lagi.
“Lo yakin akan baik-baik aja?” tambah Mario.
“Jujur, sebenarnya gue juga gak tahu sih, Yo. Tapi bukannya gue gak bisa menghindar terus, ya? Bagaimanapun juga nantinya gue sama dia bakalan ketemu, entah itu sengaja atau tidak. Lo gak mungkin menghindari sahabat lo cuma karena gue, dan gue juga gak berhak pisahin lo dari teman-teman lo. Lagi pula, Yo, gue pengen tahu gimana perasaan gue terhadap Mas Bian sekarang. Apa gue benar-benar masih cinta dia atau rasa itu sudah terganti dengan perasaan baru yang lo kasih. Lo juga gak mau ‘kan kalau gue terus-terusan mikirin laki-laki lain di saat kita udah pacaran kayak sekarang?”
Benar. Sekalipun Bian sudah benar-benar bahagia dengan istrinya dan ia yakin bahwa Aruna dan Bian tidak akan kembali bersama, nyatanya jauh di dalam lubuk hatinya ia memang tidak ingin Aruna terus-terusan memikirkan Bian. Ia tidak rela kekasihnya merindukan pria lain. Dan ia tidak sudi jika harus berbagi hati. Mario ingin hati Aruna yang utuh, teruntuk dirinya saja.
“Tapi lo yakin akan baik-baik aja ‘kan?” lagi Mario memastikan.
“Gue gak selemah itu, Mario,” Aruna terkekeh pelan mendengar kecemasan Mario. “Gue akan berdamai dengan masa lalu gue. Lagi pula sama Mbak Zi gue baik-baik aja, lo tahu sendiri ‘kan? Ya meskipun masih sedikit canggung. Tapi lo tenang aja, sama Mas Bian juga bakalan biasa aja kok. Lo gak perlu khawatir,” ujarnya meyakinkan.
“Oke deh, kalau memang begitu. Gue percaya lo pasti bisa move on. Mungkin gue mamang gak lebih baik dari si Bian dalam memperlakukan lo, tapi perasaan gue gak perlu lo ragukan, dan janji gue untuk gak mengecewakan lo tidak perlu lo takutkan. Gue gak suka ingkar,” kata Mario sungguh-sungguh.
“Gue nunggu pembuktian lo, Yo.”
Setelahnya sambungan terputus, dan tak lama kemudian Mario tiba di depan rumah Aruna, dengan perempuan itu yang sudah menunggunya di teras rumah. Tidak sendiri, karena nyatanya ada dua sosok paruh baya yang Mario tebak sebagai orang tua Aruna.
Ini bikin Mario deg-degan. Baru kali ini Mario berada di situasi seperti ini, terlibat dengan orang tua sang wanita. Mario jadi bingung sendiri bagaimana cara ia meminta izin membawa anak perempuan mereka keluar. Ini memang bukan malam dan tujuannya hanya kondangan, tapi tetap saja Mario gugup setengah mati.
Aruna juga sialan kenapa tidak bilang kalau ada orang tuanya. Setidaknya diperjalanan tadi ia bisa menyiapkan diri lebih dulu untuk bertemu calon mertua.
Ah, calon mertua ya?
Kira-kira apa ia akan dapat restu? Mario tidak lupa siapa dirinya dan seberengsek apa ia di masa lalu. Dan jujur, selain karena masalah dalam keluarganya, ini yang bikin Mario tidak percaya diri. Keberengsekannya. Mario tidak yakin ada keluarga yang mau menerimanya sebagai menantu. Tidak yakin pula ada perempuan baik-baik yang mau dengannya.
Iya, nyatanya seberengsek-berengseknya ia sebagai pria tetap saja ingin perempuan baik-baik untuk mendampingi sisa perjalanan hidupnya.
Bajingan!
Egois!
Ya, Mario akui itu.
Tapi, salahkah?
Menghembuskan nafas pelan, Mario kemudian memutuskan untuk turun dari mobilnya dan menghampiri Aruna serta orang tua perempuan itu yang mulai menyadari kedatangannya.
Dengan senyum ramah yang diusahakan, Mario menyapa dua paruh baya di depannya, lalu meminta izin membawa Aruna keluar bersamanya. Tidak ada basi-basi yang dilakukan, sebab Mario memang tak pandai melakukannya. Dan Mario bersyukur karena orang tua Aruna tidak mempermasalahkan itu, meski tatapan tajam tak lepas mengulitinya diam-diam.
Namun itu bukan masalah, itu tidak sama sekali membuatnya takut. Hanya gugup, itu pun karena ini merupakan pengalaman pertamanya, selebihnya Mario bisa mengatasinya. Bahkan Mario bisa santai menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan orang tua Aruna.
Bukan hal yang macam-macam, hanya seputar acara yang akan dirinya dan Aruna datangi, juga status yang dirinya dan Aruna miliki. Terakhir hanya pesan hati-hati.
Mario pikir orang tua Aruna tidak masalah dengan dirinya. Atau karena ini bukan perkenalan resmi? Entahlah. Mari pikirkan itu nanti, sekarang biarkan pernikahan sahabatnya yang mengambil alih atensinya dulu.
Jujur, Mario masih belum bisa terima ini. Menurutnya keputusan Nathael terlalu gegabah. Tindakannya bisa saja menyakiti perempuan lain yang tidak bersalah. Dan kejadian seperti yang Aruna alami tidak mustahil kembali terjadi. Namun seperti biasa, Mario tidak bisa mencegahnya. Bian dan Nathael sama keras kepalanya.
Hanya saja kali ini Mario benar-benar berdoa, semoga Nathael berhasil mencapai tujuannya, karena bagaimanapun ini sudah melibatkan pernikahan, jenjang hubungan yang begitu sakral dan tidak pantas dipermainkan. Mario harap Nathael tidak akan mengacewakan.
“Lo sedih gak di tinggal teman-teman lo nikah?” bisik Aruna tepat di depan telinga Mario yang lantas menolehkan kepalanya, menatap Aruna beberapa saat sebelum kemudian kembali fokus ke depan, pada sepasang manusia yang baru saja sah menjadi sepasang suami istri.
“Gue senang mereka menemukan kebahagiaannya masing-masing. Hanya saja untuk Nathael gue merasa khawatir,”
“Khawatir?”
“Hm, seperti yang pernah gue bilang, Nathael dan Agni menikah bukan karena cinta sebagaimana Bian juga Nathan. Mereka bersama karena ingin saling menyembuhkan luka yang masing-masing punya. Dan itu bikin gue khawatir. Bagaimana kalau Nathael gagal?”
“Yo—”
“Seperti Bian kepada Zinnia, Nathael juga sangat mencintai Mutiara. Dia hanya pura-pura baik-baik saja selama ini. Jauh di dalam lubuk hatinya dia ingin sekali merebut Mutiara dari kembarannya, hanya saja Nathael selalu memikirkan keluarganya, ibunya,” mendesah pelan, Mario kembali mentap ke depan, pada si pengantin yang sedang memamerkan buku nikah yang baru saja selesai di tanda tangan.
“Tapi mereka terlihat bahagia,” komentar Aruna melihat dua mempelai di depan sana.
“Semoga saja benar-benar begitu.” Maksudnya bahagia. Masalahnya Mario terlalu tahu bagaimana pandainya Nathael berpura-pura, namun kali ini ia akan percaya. Semoga apa yang dilihatnya sekarang bukan sekadar tipuan saja.
Bagaimanapun sebagai teman, Mario ingin melihat teman-temannya bahagia. Benar-benar bahagia, tanpa kepura-puraan yang akan menyakiti salah satunya.
Lalu, kapan dirinya sendiri akan bahagia?
Secepatnya!
Mario akan pastikan itu.
***
Iya Yo, kamu akan cepat2 bahagia bersama Aruna.
Sabar ya Yo, dikit lagi kok ... 🤭🤭
Yok guys, jangan lupa ramaikan komentarnya di sini 👉👉👉
See you next part!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bed Mate
General FictionAndai yang mabuk-mabukan di barnya bukan Aruna, Mario tidak akan peduli. Namun karena yang berada di depannya adalah mantan tunangan dari sahabatnya, mau tak mau Mario akhirnya memutuskan untuk menemani. Niatnya tak lebih dari itu, tapi siapa yang m...