BM - 34

13.1K 508 59
                                    

Happy Reading!!!

***

“Kemari-kemarin butek banget, sekarang cerah amat tuh muka kayak jomlo baru dapat pelepasan,” olok Ari ketika mendapati kedatangan bosnya dalam keadaan lebih baik dibandingkan kemarin.-kemarin.

“Gak usah berisik lo, Ri, kerja aja sana yang benar,” dengus sebal.

“Masih sepi Bos. Santai lah,” ucapnya setelah melirik sekeliling yang memang belum begitu ramai. Wajar, jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Belum banyak orang yang datang mencari hiburan juga minuman haram yang selalu Ari hidangkan. Bisalah mereka ngobrol sebentar. “Bokap lo kemarin datang,” Ari menyampaikan dengan sedikit hati-hati.

Terdiam sebentar, Mario kemudian melanjutkan pergerakannya mengambil minuman. Raut wajahnya datar, tak tertebak, membuat Ari tidak tahu bagaimana perasaan Mario yang sebenarnya saat ini.

“Dia nanyain lo,” lagi Ari melanjutkan. Dan satu dengusan berhasil Mario loloskan.

“Ngapain?” meskipun sebenarnya Mario sudah dapat menebak tujuan sang ayah datang mencarinya.

“Minta lo datang ke rumahnya,”

“Ck, ngapain lagi sih tuh tua bangka?! Berapa kali gue bilang kalau gue gak sudi datang ke rumah itu lagi?” ujarnya dengan nada sarat akan kemarahan. Pun dengan kedua netra yang menunjukkan kebencian.

Ari tahu sedalam apa luka Mario akibat orang tuanya. Tapi ...

“Bokap lo keliatan putus asa, Bos,” dan itu membuat Ari tak tega.

“Itu bukan urusan gue!” setelahnya Mario berlalu begitu saja, meninggalkan Ari di tempatnya.

Tidak ada yang bisa Ari lakukan selain menghembuskan nafas panjang. Ari hanya berharap Mario akan segera melunakkan hatinya. Bagaimanapun ia tidak ingin teman sekaligus bosnya itu merasakan penyesalan di kemudian hari.

Hufh.”

“Berat benget kayaknya beban lo, Ri?” tegur Nathael, sontak membuat Ari menoleh dan sedikit terkejut. Namun hanya sesaat, setelahnya Ari kembali bersikap santai.

“Sendirian El?” tanyanya tanpa menanggapi kalimat Nathael.

Nathael hanya menjawab lewat anggukan dan deheman singkat, lalu mengambil duduk di salah satu kursi tinggi di depan meja bar. “Si Nathan sama Si Bian udah gak asyik di ajak main-main ke bar,” jawab Nathael setelah memesan minuman.

“Udah pada punya anak istri ya, El? Udah punya hiburan sendiri di rumah,” kekeh Ari diikuti Nathael.

“Lo gak ada niat kayak gitu juga, Ri?”

“Nikah maksud lo?” Nathael mengangguk membenarkan. “Nanti lah, El, sekarang masih enak sendirian. Bebas lirik cewek sana sini,” jawabnya diiringi tawa kecil.

“Ck, lo terlalu banyak gaul sama Si Rio!” cibirnya seraya mencebikkan bibir. Tapi Ari malah justru semakin tertawa.

“Ya gimana dong, gue ‘kan kacungnya, El?”

“Tapi gak harus lo ikutin juga pemikiran dan otak selangkangannya dia!”

“Gak lah, El,” kekehan kembali Ari loloskan bersama gelengan kepalanya. “Gue emang belum ada aja pikiran ke sana. Belum sanggup nafkahin anak orang gue,” ucapnya lalu mengedikkan bahu singkat. “Ngomong-ngomong lo ke sini sengaja mau mabuk apa mau ketemu Si Rio?” bukan mengalihkan, Ari hanya perlu tahu saja tujuan kedatangan sahabat dari bosnya itu.

“Ketemu bos lo,” jawab Nathael sesaat setelah menyesap sedikit minumannya. “Dia udah datang ‘kan?”

Ari mengangguk singkat. “Baru datang,” ucapnya disusul helaan nafas pelan. “Kemarin bokapnya datang,” lanjutnya bercerita. “Lo bantu bilangin dong, El. Kasihan Om Firman keliatan putus asa banget.”

Bed MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang