Happy Reading!!!
***
Mario tidak tahu alasan mengapa dirinya masih bertahan di rumah sakit padahal muak sudah dirasakannya. Terlebih melihat ayahnya yang terus-terusan menampilkan raut penyesalan dan maaf berkali-kali digumamkannya.
Dokter bilang wanita iblis itu belum memberi tanda-tanda akan sadar, dan seharusnya Mario pulang saja. Untuk apa juga tetap di sana. Ia tidak peduli pada ibunya.
Iya, setidaknya begitulah kepalanya bersuara, sementara tubuh dan hatinya tidak demikian. Mario tetap bertahan duduk di ruang tunggu, sambil sesekali melirik pintu ruang ICU meskipun setelahnya ia akan mendengus, merutuki kekonyolannya.
Entahlah, Mario benar-benar tidak mengerti dengan keinginan dirinya sendiri saat ini. Perasaannya terlalu membingungkan. Satu hal yang Mario sadari, ia bersyukur Aruna berada di sampingnya, menemaninya, menggenggam tangannya dan sesekali menepuk punggungnya seolah memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tidak tahu untuk apa. Ia sendiri tidak memahaminya.
Atau justru enggan memahaminya?
Menghela napas pelan, Mario kembali melirik pintu ruang ICU untuk kesekian kalinya. Ada keinginan untuk bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekati pintu tersebut, namun keinginan itu segera ditepisnya. Ngapain? Ejek kepalanya. Berbanding terbalik dengan keinginan hatinya yang merasa perlu untuk memastikan bagaimana tubuh lemah ibunya berbaring di sana. Tapi hingga menit berlalu dan jam telah berganti Mario tidak juga melakukannya, hingga tak lama kemudian dokter yang tadi menangani ibunya berjalan cepat memasuki ruangan itu diikuti salah seorang suster.
Hal itu bikin Mario penasaran, apalagi ayahnya yang sontak bangkit dan mendekati kaca ruang ICU dengan raut wajah panik yang tidak dapat di sembunyikan. Mario bingung. Ia ingin mengikuti dan bertanya mengenai apa yang kiranya terjadi di dalam sana. Ia belum pernah berada dalam situasi ini, jadi ia tidak mengerti. Beruntung saja dokter tadi segera keluar dan mengabarkan bahwa pasien sempat kejang-kejang.
“Tapi sekarang kondisinya sudah kembali stabil. Istri anda sudah bisa kami pindahkan ke ruang perawatan.”
Dan entah bagaimana ceritanya Mario ikut-ikutan menghela nafas lega. Ia sampai tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini? Benarkah ia mengkhawatirkan iblis itu?
Cepat-cepat Mario menggelengkan kepalanya. Itu tidak mungkin, sebab jelas-jelas ia begitu membenci ibunya. Tapi sekali lagi, ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa tidak nyaman. Dan nyatanya tubuhnya pun bergerak dengan sendirinya mengikuti ke mana ibunya di pindahkan. Tanpa sadar Mario justru berdiri di depan ranjang pesakitan tempat ibunya berbaring.
Dua puluh tahun telah berlalu, wanita cantik yang dulu ia takuti sekaligus ia harap akan datang untuk memeluknya kini terlihat begitu ringkih. Wajahnya yang dulu sehat terawat dan selalu terias make up, kini terlihat begitu pucat dan tirus. Rambutnya yang biasa tertata rapi pun kini tidak lagi menghiasi kepalanya. Penyakit kanker yang diderita memakan habis kesehatannya.
Melihatnya dalam kondisi seperti ini, bohong jika Mario tidak iba. Yang ada justru Mario merasakan ada yang menyentil sudut terdalam hatinya. Sakit. Namun mengingat kembali bagaimana perlakuan wanita itu terhadapnya di masa lalu bikin amarah itu kembali naik kepermukaan, menyamarkan rasa ibanya.
“Yo,”
Panggilan dari Aruna berhasil mengalihkan antensinya dari sosok tak berdaya ibunya. “Mau pulang?”
Cepat-cepat Aruna menggelengkan kepalanya. “Udah sore, bokap lo belum makan siang. Begitu juga kita.”
“Lo lapar?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bed Mate
General FictionAndai yang mabuk-mabukan di barnya bukan Aruna, Mario tidak akan peduli. Namun karena yang berada di depannya adalah mantan tunangan dari sahabatnya, mau tak mau Mario akhirnya memutuskan untuk menemani. Niatnya tak lebih dari itu, tapi siapa yang m...