1 bulan berlalu Gracia habiskan waktunya dengan mengurung diri di kamar Zee, perubahan mulai terlihat dari Gracia yang berubah menjadi lebih pendiam, ia sangat menutup akses pada siapapun. Ia mengunci pintu serta jendela kamar yang selalu tertutup dan Gracia menikmati kamar yang penuh dengan kegelapan.
Badannya yang biasanya selalu terlihat segar dan ceria kini menghilang entah kemana, berbeda sekali dengan sekarang yang penampilannya selalu lusuh, Gracia bodoamat dengan itu. Ia juga tidak peduli dengan pekerjaannya serta orang-orang di sekitarnya yang selalu membujuknya, Shani, Anin dan oma opanya setiap hari selalu membujuk Gracia tapi sangat sulit sekali karena Gracia selalu menghiraukan ucapan siapapun itu.
Hari harinya hanya begitu begitu saja, Gracia selalu melamun dengan tatapan kosongnya, kadang juga ia tiba-tiba menangis ataupun marah-marah tapi ia tidak pernah melampiaskan marahnya dengan melempar barang yang ada di kamar Zee, Gracia menghindari itu karena tidak mau merusak barang milik Zee tentunya.
Gracia belum ikhlas, sangat sulit sekali untuk ikhlas apalagi mengingat salah satu ketakutannya itu adalah kehilangan Zee, satu-satunya orang yang selama ini membuat dirinya kuat.
Kenangan dirinya dengan Zee selalu terbayang bayang di benaknya membuat Gracia selalu bersedih, apalagi mengingat Zee yang selalu manja dan rewel padanya, Zee yang selalu merengek, Zee yang selalu membuat Gracia pusing, Zee yang selalu tidak mau di tinggal, dan masih banyak lagi.
Hingga saat ini Gracia sangat marah, karena selama ini Zee sama sekali tidak pernah masuk ke dalam mimpinya. Ia sangat kesal hingga ide buruk melintas di pikirannya, apakah ia harus bunuh diri agar bisa bertemu dengan Zee serta mama, papanya juga?
Gracia tersenyum simpul setelah sekian lama pikiran buruk itu selalu mengotori pikirannya dan sekarang ia mulai nekat. Kini tangannya mengambil sebuah pisau yang kini terletak di atas meja, ia berhasil mengambilnya semalam di dapur, Gracia mengangkatnya perlahan hingga teriakan seseorang mengejutkannya membuat pisau yang di pegangnya pun terjatuh.
"CICI!"
Gracia membalikkannya badannya ke asal suara, wajahnya kaget tentu saja serta matanya yang sudah sangat bengkak itu berkaca kaca.
"Z-zee sayang? I-ini beneran kamu?" tanya Gracia pada seseorang yang kini di hadapannya itu, orang itu memakai gaun putih yang sangat cantik.
"Iya ci, ini aku" ya, orang itu adalah Zee.
Zee maju mendekat pada Gracia dan memeluk tubuh kurus Gracia itu. "Cici aku kok jadi kayak gini sih?" tanya Zee lirih ia sangat sedih melihat tubuh Gracia saat ini begitu kurus.
Tangan Gracia bergetar, ia mengangkatnya perlahan dan membalas pelukan Zee sangat erat.
"K-kamu jahat, kamu tega ninggalin cici sendirian. Kamu jahat Zee kamu jahat, kamu kenapa ngga ajak cici? Cici mau ikut Zee... Cici ga kuat sayang sakitt banget ini... sakit." tangis Gracia pecah di pelukan Zee, ia sudah tidak kuat menahan rasa sakit hatinya.
Zee merasakan sakit hati juga? Tentu saja, tapi ia hanya diam mengelus lembut punggung Gracia sambil memejamkan matanya menahan tangis.
"Tuhan itu jahat, dia ngambil kalian tapi kenapa dia ngga ambil cici juga" sambung Gracia lirih dengan tangis hebatnya, Zee melepaskan pelukannya lalu menarik Gracia agar duduk di tepi kasur.
Tangan Zee terulur mengelap air mata Gracia. "Cici ga boleh ngomong gitu dan jangan nangis terus ah" ucap Zee namun Gracia menggeleng.
Gracia mengangkat tangan kanannya untuk menyentuh pipi Zee membuat tangisnya semakin deras saat merasakan ini benar-benar nyata.
"Cici berhenti nangis atau aku pergi sekarang" tegas Zee membuat Gracia menutup mulutnya dan sekuat tenaga menahan tangisnya.
Zee tersenyum lalu memajukan badannya dan kedua tangannya menangkup pipi Gracia serta mengecup seluruh wajah Gracia, hingga kini tepat di dahi Gracia ia mengecupnya cukup lama membuat Gracia memejamkan matanya menikmati kehangatan yang di berikan Zee.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY CICI [END]
Fanfiction"Ketika rasa benci dan sayang sama-sama tinggi" -Gracia