6. Nes, Ngenes!

408 42 40
                                    

Sena baru sampai di rumahnya mendekati maghrib bersama khadamah, ustazah, dan sahabat karibnya bernama Lutfia. Mereka seumuran. Lutfia langsung ijin ke asrama khusus para ustazah. Sementara Sena langsung masuk ke rumah.

"Sudah pulang, Sayang?" Bu Nyai Salwa langsung memeluk putrinya setelah sang putri bersalaman.

"Mbak Lutfia kemana?"

"Langsung ke asrama Umi."

"Oh, ya sudah. Lah, kamu bawa apa?"

"Bakso Sami Asih, buat orang rumah juga."

"Kamu makan di sana?"

"Mboten lah Umi, malu. Gak elok rasanya."

"Bagus, ya sudah taruh dulu di meja, kamu mandi, masih uzur?"

"Masih."

"Sama."

Sena pamit kepada sang ibu untuk masuk ke dalam kamar. Di sana, dia langsung masuk ke kamar mandi untuk mandi dan bersih-bersih. Begitu selesai, Sena memilih duduk dulu di sofa yang ada di dalam kamar. Ponsel menjadi alat yang dia gunakan untuk membunuh waktu karena sedang tidak sholat.

Ada banyak chat, dari rekan, sahabat, keluarga dan para pengagum rahasia yang ngajak kenalan atau say hello doang. Namun sama sekali tak digubris oleh Sena. Buat apa? Sena bukan tipe wanita yang suka memberi harapan atau menempatkan harapan pada seseorang. Prinsip Sena, dia hanya akan berharap pada Allah saja.

Bunyi notifikasi chat terdengar lagi. Sena melirik siapa nama yang mengirim. Ternyata sepupunya, Shiren. Shiren adalah anak dari Tante Salma, adik dari Bu Nyai Salwa. Tante Salma meninggal akibat depresi. Sementara ayah kandung Shiren meninggal karena kecelakaan. Shiren diasuh ibunya sejak usia tujuh tahun. Beruntung uminya adalah orang yang tak pilih kasih. Baik Shiren dan Sena mendapat kasih sayang yang sama rata. Tak ada istilah anak kandung atau keponakan.

Shiren : [Mbak, aku lanjut ngabdi di Al Hikam]

Sena : [Senyamannya kamu aja]

Shiren : [Mbah Kholil sama Mbah Maryam gimana ya? Mereka gak setuju tapi aku ngeyel]

Sena : [Mbak nyuruh kamu boyong juga gak mau kan?]

Shiren : [Hehehe, iya sih. Tapi ... yang jagain siapa, Mbak?]

Sena : [Ada Pakdhe, Budhe, Mas sama istrinya. Mbak juga sering nginep di sana]

Shiren : [Wah makasih. Eh Mbak, aku mau curhat, Gus Ken tambah ganteng]

Sena : [Cowok ya ganteng]

Shiren : [Ih, Mbak Sena gak asyik]

Sena : [☺☺☺]

Shiren : [🥲🥲🥲🥲]

Sena : [Kenapa gitu, emojinya?]

Shiren : [Habis Mbak Sena gitu, gak pernah asyik diajak ngobrolin tentang cowok, termasuk Gus Ken. Mbak Sena kan juga mantan khadamah sini, masa gak pernah merhatiin, sih!]

Sena : [Bukan muhrim. Lagian buat apa aku ngelihatin, orangnya aja cuek. Masih cuek, kan?]

Shiren : [Bangeeet 😭😭😭😭😭, sampai putus asa Shiren rasanya. Shiren dia anggap 'Tak Kasat Mata' atau patung kali? Ya ampun]

Sena terkekeh. Dia dan Shiren terus terlibat dalam obrolan gaje. Sena tahu Shiren pasti juga sedang uzur. Seingat Sena, baik dia, sang umi, dan Shiren mempunyai siklus menstruasi hampir bersamaan. Sena terus berchat dengan sepupunya. Meski Shiren selalu curhat Ken begini, Ken begitu, Sena selalu bersikap bijak dan sering membuat Shiren jengkel.

Jodoh Untuk Pak Komting! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang