16. Kamu Niat Bakar Rumah?

325 49 22
                                    

Umi Shakeena tersenyum lebar saat melihat salah dua santri didiknya datang. Lutfia langsung menyalami Umi Shakeena dengan takdim baru Sena. Tanpa dikomando, Sena langsung memeluk Umi Shakeena. Seolah paham, Umi Shakeena hanya diam, mengusap punggung sang anak didik dengan lembut.

"Masuk yuk?"

"Sebentar Umi."

Umi Shakeena mengangguk dan membiarkan Sena memeluknya. Sena berusaha mencari kenyamanan, kekuatan melalui pelukan dari gurunya. Setelah lima menit, dia melepas pelukan dan mengulas senyum indah pada sang guru.

"Sudah baikan?"

Sena mengangguk. Umi Shakeena lalu mengajak kedua santrinya masuk ke dalam rumah. Lutfia ijin menuju ke pondok menemui teman-temannya. Sementara Sena diajak ke halaman belakang. Kini, mereka duduk di gazebo.

"Ada masalah?"

Sena hanya tersenyum.

"Belum mau cerita? Ya sudah. Gak papa."

Umi Shakeena mengambil tangan kanan Sena, dia lalu mengajak anak muridnya membaca beberapa ayat. Sena yang juga seorang penghapal Qur'an tentu saja mengikuti lantunan yang dibacakan oleh gurunya.

Keduanya larut dalam kalimat Allah tanpa menyadari kalau waktu sudah masuk waktu duhur. Dan tak berselang lama, kumandang azan mengalun merdu. Seperti seruan pada kaum muslim untuk sejenak beribadah kepada Allah.

"Sudah duhur, sholat, kan?"

"Nggih, Umi."

"Bareng Umi yuk!"

Sena mengangguk. Lalu mereka beriringan menuju ke masjid kompleks putri. Di sana, Sena bertemu dengan Shiren yang tergopoh-gopoh menghampiri Umi Shakeena lalu dari Umi Shakeena, Sena menarik sang sepupu agak menjauh. Kali ini Shiren sedang tak peduli dengan aksi caper Maria yang langsung menempeli Umi Shakeena. Fokusnya kini pada sang sepupu. Dia penasaran kenapa sepupunya ke sini.

"Maen, Ren. Masak gak boleh?"

"Emang kamu gak sibuk? Ngurusi pernikahan?"

Sena tersenyum. "Lamaran juga belum, Ren."

"Tapi kan mau nikah?"

"Insya Allah, amin."

"Jadinya kamu minta mas kawin apa?"

"Terserah calon suamiku nanti. Aku manut dia mau ngasih apa."

"Emas yang banyak, sama jangan lupa rumah. Katanya suamimu kan penceramah yang lagi naik daun. Pokoknya artis. Mana suaranya bagus banget pas sholawatan."

Sena hanya tersenyum saja. Namun dalam hatinya ada belati yang terasa menghujam di sana. Nyeri.

"Percuma jadi penceramah, tukang ngomong di depan pengajian, Se. Percuma juga ngajak sholawatan, malah jamaahnya yang sering bukannya sholawatan tapi joget-jogetan. Lihat aja streaming di Yutub banyak banget. Aku aja sampai kaget, masa seorang gus, membiarkan yang ikut pengajian sama sholawatan pegang HP sambil joget-joget? Terus korelasinya apa ngaji sama joget?"

Sena sedang mengingat semua perkataan Lutfia saat perjalanan ke Al Hikam. Ya, jika dibilang sisi positif adanya gus muda yang ganteng adalah menjadi jalan dakwah karena paras tampannya mampu menggaet khaula muda terutama wanita. Tapi kalau jatuhnya malah sampai diidolakan sampai di luar nalar ya salah.

Sena bahkan tidak paham kenapa abah dan kakeknya menerima pinangan Gus Akhtar. Sekarang dia seperti menyesal karena terlalu menyerahkan sepenuhnya urusan jodoh pada sang abah. Tapi kalau dipikir-pikir bukan salah abahnya sih, tapi kedua tantenya yang terlalu ikut campur urusan jodoh Sena.

Jodoh Untuk Pak Komting! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang