23. Ternyata Begitu Kelakuannya

366 49 33
                                    

Keenan melirik pada sosok yang berdiri di hadapannya. Dia memilih abai dan kembali fokus dengan apa yang ada di depannya.

Maria berkali-kali memanggil Keenan tapi tak digubris hingga dia menggunakan satu senjata terakhir yang rupanya berhasil direspon.

"Assalamu'alaikum Wr. Wb."

"Wa'alaikumsalam Wr. Wb."

"Akhirnya dijawab juga. Kupanggil sejak tadi gak jawab. Hihihi, emang islam nyenengin ya, dikala lagi pada dieman, marah-marahan gak mau ngomong tapi ... tetep salam harus dijawab."

Maria tersenyum lebar sekali sementara yang sejak tadi diajak ngomong, malah sudah fokus kembali dengan pekerjaannya.

"Ck! Aku lagi ngomong loh, Ken. Kamu tuh ya? Masya Allah, selalu saja begitu sama aku."

Maria lalu dengan santai duduk di kursi depan Ken, mereka hanya terhalang meja saja. Maria memangku dagunya pada salah satu kepalan tangan. Matanya penuh pemujaan menatap pada Keenan yang seperti biasa cuek. Keenan tak peduli, Maria mau memelototinya sampai biji matanya keluar semua, dia tidak peduli.

Maria pun tak peduli dengan sikap cuek Keenan, asalkan dia bisa menatap pujaan hatinya seperti sekarang. Mau dianggap patung ya monggo.

Aji yang sejak tadi menemani gusnya kaget mendapati Maria main nyelonong saja ke ruang kerja gusnya. Aji memilih diam sambil nyemil keripik singkong. Sesekali matanya melirik pada toples kukis yang berada di dekat laptop sang gus. Aji kesal, karena Gus Ken kesayangan mulai perhitungan soal makanan sama dia.

Dan kalau diperhatikan, gusnya hanya pelit pada makanan tertentu saja. Salah satunya kukis yang ada di meja. Eh tapi, pernah juga pelit sama kue kacang dan nastar. Dan begitu diamat-amati dan Aji menyimpulkan, bukan masalah makanannya tapi pasti siapa yang bikin itu makanan. Dan jujur saja Aji pun suka. Dia jadi penasaran siapa yang bikin kukis enak yang kini seolah-olah meminta Aji untuk mendekatinya. Memakannya. Air liur Aji makin ngeces.

Keenan melirik pada sahabat sekaligus khadam kesayangannya. Dia mengkode pada Aji lalu melirik ke arah kukis. Aji langsung berdiri tegak. Dia pun menghampiri Maria.

"Mbak Maria, awas saya mau ngepel. Dan tolong jangan di sini. Gak boleh, bukan mukhrim."

Aji mendorong punggung Maria, memintanya keluar dari ruang kerja, bergerak terus hingga ke ruang tengah dan sampai ke luar pintu samping.

"Sorry ya Mbak. Maafkan saya, tapi maaf banget, bukan mukhrim."

Suara pintu tertutup dan terkunci dari dalam terdengar. Maria kesal. Dia mengetuk pintu keras sekali sambil berteriak. Sayang, tak ada sahutan. Maria bergerak menuju ke teras depan, pintu depan kembali dia ketuk. Tapi tidak ada yang keluar. Maria kesal. Dia menatap rumah Abah Abri dengan rasa marah yang sudah sampai di ubun-ubun.

"Mbak Maria."

Maria berbalik. Dia mencoba mengulas senyum manisnya. Umi Shakeena menatap Maria dengan intens. Tak ada mimik marah di wajah Umi Shakeena.

"Umi sudah bilang, jangan pernah ke rumah ini kalau tidak ada saya, atau Umi Caca, apa Mbak Maria lupa?" Lembut, Umi Shakeena bersuara.

"Maaf Umi. Tadi aku ...."

"Agama ada aturannya Mbak, dan jangan menentang aturan hanya dengan akal." Umi Shakeena sedikit meninggikan suara ketika dilihat, Maria akan membantah.

"Saya tahu Mbak Maria cerdas, tapi ingat, agama bukan hanya perihal kecerdasan. Hukum diambil karena ada sebab dan akibat. Silakan Mbak Maria mau menggugat apa pun, tapi agama melarang. Dan saya melarang Mbak Maria berada di rumah saya, tanpa saya atau Umi Caca. Apa Mbak Maria paham?"

Jodoh Untuk Pak Komting! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang