43. Rendah Diri

281 41 19
                                    

"Cahaya" Itulah arti nama Chira. Gadis dua puluh tahunan yang kini sedang ikut menjadi barisan vokal bersama para turunan Al Hikam benar-benar tampak bercahaya. Auranya begitu menguar, membuat para gadis lain merasa iri bahkan hingga minder. Sementara untuk para lelaki, Chira bagai permata terang di antara serbuk berlian lainnya. Meski bukan paling cantik tetapi tetap saja kateori sangat cantik dan mampu menyirep mata semua lelaki.

Sena sendiri berada di barisan kategori minder. Karena dibandingkan Chira yang mudah bergaul dan ceria, Sena bukanlah apa-apa. Meski teman Sena banyak tapi Sena sadar, jika sedang ngumpul dia kategori lebih banyak diam, mendengar dan merespon lewat senyuman. Nah, Chira tidak begitu. Dia pandai menyusun kalimat, menyemarakkan suasana, dia pandai membaca situasi, dia pandai berkomunikasi, mana cantik lagi. Paket komplit calon istri. Dan dia yakin semua pria akan jatuh cinta melihat wajahnya. Jangankan wajah, dengar suaranya saja sudah pasti para lelaki kesengsem, lihat muka pasti makin demen. Sena mah apa atuh? Cuma remahan atom. Ah elah, anak gadisnya Abah Fahmi sedang insecure diri rupanya.

Sena makanya lebih banyak bekerja dalam diam, mendengar dalam diam. Pokoknya diam. Berbeda dengan saudara sepupunya yang sejak tadi misuh-misuh. Geregetan sendiri, ngomong sendiri, memaki-maki dan kembali ngomong sendiri dengan kata-kata kasar berisi umpatan untuk Chira.

"Cuma anak haram aja, belagu. Dia pikir dia siapa?" gerutu Shiren.

"Dih! Kalau bukan karena kebaikan Umi Quila, jadi apa dia? Pelakor kek ibunya kali," desis Shiren.

Sena yang mendengar bisikan Shiren menegurnya, tapi seperti biasa Shiren mana peduli. Akhirnya Sena memilih sedikit menjauh duduknya dari sang sepupu karena dia tidak ingin terlalu banyak mendengar kata-kata buruk dari bibir sepupunya. Dan itu berhasil.

Sayang belum ada lima menit, Mbak Aminah yang berada di sekitar keduanya mendekati Sena, lalu berbisik.

"Mbak Se, Ning Shiren ngomongnya kekencengen deh, banyak yang denger. Coba diomongi lagi." Mbak Aminah berusaha memberitahu Sena kalau ucapan Shiren terlalu keras.

Sena menghembuskan napasnya, dia memgedarkan tatapannya dan benar saja. Banyak pasang mata mengarah tidak suka ke arah shiren. Sena pasrah, sudah menjauh terpaksa mendekat lagi ke sepupunya. Demi kedamaian, ketertiban dan mencegah kezoliman.

"Ren, tolong ngomongnya dijaga. Gak boleh ngomong gitu," bisiknya. Lirih.

"Aku ngomong bener kok, emang anak haram. Ibunya pelakor, bapaknya lelaki brengsek. Dia juga pelac-"

"Re-" Belum sempat Sena menghentikan ucapan Shiren, Shiren justru memekik gegara ada seseorang yang tidak sengaja menyikut dirinya. Bagian perut lagi yang kena.

Shiren berteriak dan hendak marah-marah tapi dia bungkam menyadari siapa yang tadi menyikut perutnya.

"Umi Quila," panggilnya lirih. Dia hendak menyalami Umi Quila tapi salah satu anak Abah Azzam yang paling judes hanya menatapnya sadis. Shiren tak jadi menyalami malah ketakutan.

Sena dan Mbak Aminah justru dengan takdim menyalami dan walau dengan ekspresi galak, Umi Quila mau menerima salam takdim dari keduanya. Umi Quila kembali menatap Shiren tak lupa senyum sinis beliau lemparkan.

"Maaf Ning, sikunya umi salah parkir. Maklum khilaf. Namanya juga anggota badan, kadang mau aksi bener lah keblinger. Sama kayak lidah, Ning. Daging kenyal tapi sekali khilaf bikin satu negara perang. Manusia berguguran. Bahkan bisa bikin yang punya masuk neraka jahanam. Jadi, maafin umi ya Ning Shiren, maklum nih siku khilaf. Untung bukan lidah umi yang khilaf. Wah kalau lidah umi khilaf, geger tiga pondok keknya.bPerang Baratayudha jilid dua."

Lalu tanpa dosa Umi Quila kembali mengarahkan tatapannya ke arah para putra putri turunan Al Kaivan yang sedang beraksi. Tak lupa beberapa kali, lirikan mata tajamnya menghujam ke arah Shiren yang kini jadi mengerut, bahkan dia sampai bersembunyi di belakang sang kakak sepupu.

Jodoh Untuk Pak Komting! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang