34. Ayang ...?

444 51 34
                                    

Apa kamu betah di sana?

Itu adalah kalimat yang selalu Sena dengar selama hampir satu minggu dia berada di Temanggung. Tepatnya di pondok khusus para hafiz/hafizah yang didirikan oleh Abah Abri.

Tentu Sena tidak perlu menjawab terlalu lama karena dia pasti akan langsung menjawab.

Ya, Sena betah.

Bagaimana tidak betah? Nuansa pondok cabang Al Hikam yang ada di Temanggung, berada di lokasi yang masih terpelosok terasa begitu menyenangkan dan membuat hati tentram. Mana dia tidak perlu dipusingkan dengan rajukan Shiren, sikap intimidasi Maria, sikap kedua kakek nenek dari pihak ibu yang selalu saja meminta Sena memperhatikan Shiren dan terlebih Sena bisa menghindarkan diri dari julidan para netizen yang mempertanyakan kenapa dia gak jadi nikah sama Gus Akhtar.

Karena berbagai alasan itulah Sena benar-benar memperoleh ketenangan di sini. Ditambah lagi, dia bisa melepas status 'Ning' untuk sementara waktu, membuat Sena makin kerasan berada di Temanggung.

Seperti biasa rutinitas Sena hanyalah, melatih para calon hafizah, menjadi imam untuk santri putri di waktu tertentu, masak, ngerumpi dengan tetangga atau para santriwati dan sesekali bisa mbolang di waktu pagi dan sore. Rute untuk mbolang ada banyak. Sena tinggal memilih mau kemana. Mau ke kali, kebun atau hutan.

Seperti kali ini, tepat di hari kesepuluh di Temanggung, Sena sedang menikmati pagi yang indah di kali dekat dengan kompleks pondok ditemani beberapa santri yang lain yang sibuk mencuci sambil mainan air.

Sena sendiri memilih duduk santai di salah satu batu yang besar, sambil memandang nun jauh ke sekitaran. Apalagi cuciannya sudah selesai dari tadi. Tinggal angkut bawa pulang menunggu yang lain selesai. Tapi, tampaknya baik Sena atau santri lain masih betah dan belum ingin kembali.

"Mbak Se, lagi ngeliat opo?" Salah satu santri sekaligus salah satu pengajar bernama Maghfiroh, menghampiri Sena dan duduk di sebelahnya. Usia Maghfiroh yang biasa dipanggil Mbak Iroh adalah dua puluh lima tahun.

"Ini Mbak Iroh. Lihatin pemandangan. Sueger!"

"Hehehe. Emang segere puol kok Mbak Se. Cuma sayang."

"Sayang kenapa?"

"Ra ono Joko Tarub apalagi Malin Kundang. Mbok yao keneo teko siji, tak pek jadi bojo bwahaha."

Mbak Iroh tertawa ngakak, Sena pun ikutan tertawa namun dengan menutup mulutnya. Gak bisalah dia tertawa sengakak Mbak Iroh. Kan bukan gaya Sena banget.

"Mbak Iroh lucu."

"Hihihi, cantik juga kan?"

"Nggih, cantik."

"Kayak Mbak Sena?"

"Nggih."

"Ra percoyo Mbak Se. Lah wong bagai ndoro putri dan Mbak Abdi. Bwahahaha."

Lagi-lagi Mbak Iroh tertawa ngakak dengan intonasi menggelegar. Sena awalnya selalu kaget kalau mendengar tawa Mbak Iroh, tapi seminggu lebih berinteraksi intens membuat Sena sekarang sudah bisa beradaptasi meski terkadang masih suka terkaget-kaget.

"Santri yang mondok di sini itu santai Mbak Se, soalnya kan cuma fokus hapalan. Ya kadang belajar kitab tertentu cuma gak wajib kayak di Al Hikam, makanya santai, banyak waktu mainnya lagi."

"Iya Mbak. Yang ngajar juga santai."

"Hehehe, iya kan?"

Sena dan Mbak Iroh asik bercerita hingga Sena memutuskan segera kembali setelah melihat jam sudah menunjuk ke arah setengah sembilan.

Jodoh Untuk Pak Komting! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang