38. Bidadari atau Halusinasi?

558 51 37
                                    

Suara gitar mengalun dengan indah, memenuhi teras pondok putri yang penghuninya sedang pulang. Hanya tertinggal Mbak Iroh, Sena, dan Trio Padmavati. Trio Padmavati dan Sena terlihat lepas bebas menyanyi dengan suara yang indah, sementara Mbak Iroh cuma plonga-plongo mengagumi suara keempat gadis cantik yang masih sebaya dengannya.

"Mbak Iroh mau nyanyi apa?" tanya Ida begitu dia selesai memetik gitar terakhir.

"Duh, Mbak Iroh ngertinya dangdutan sama indiahe nehi-nehi."

"Ya udah mau apa?"

"Pokok'e lagunya Raja Bollywood, opo wae aku manut kalau gak dangdut jowo."

"Ciap, cus Anjeliiii, tarik siis!" teriak Shada heboh.

"Okeee."

Jadilah lima gadis makin rame nyanyinya. Sementara itu di dalam rumah ada dua bujang jomblo yang asik ngopi sambil ngobrol.

"Gus, njenengan gak ikut nyanyi?" Meski sudah selalu diminta jangan memanggil gus, tapi Aji selalu berprinsip dia hanya akan memanggil Keenan 'gus' jika berada di lingkungan dimana Keenan tidak dikenal sebagai putra kyai. Selebihnya kembali ke panggilan yang benar.

"Ntar! Takut ada yang terpesona sama suaraku."

"Halah, sombongmu, Gus."

"Kan aku sombong karena aku mampu. Kalau gak mampu sombong itu baru wagu."

"Ya ya ya, terserah njenengan. Sekarepe njenengan, Gus."

Aji menyeruput kopinya lalu bersuara.

"Gus."

"Hem."

"Adinda tercinta nasibnya mau gimana? Jadi dihalalin gak?"

"Kepo."

"Dih! Bujang karatan, ditinggal nikah baru tahu rasa."

"Awas, ngomongin jelek ke gusmu, nanti balik ke kamu. Tahu rasa kamu, Ji!"

"Waduh! Guse selalu. Selalu begitu. Ya Allah ya Rabbi, andai ada tragedi isekai, regresi, regenerasi, ganti posisi, mau dong aku gantian nasib sama njenengan, Gus. Suwer!" kesal Aji.

Keenan hanya tersenyum smirk lalu menyeruput kopinya santai. Dia melirik ke dalam kamar kedua eyangnya yang sudah masuk ke kamar sejak satu jam yang lalu. Lalu kembali melirik ke arah pintu yang terhubung dengan dapur, dimana kalau dilanjutkan terus akan ada pintu yang bila pintunya dibuka, maka kamar-kamar santri putri langsung terlihat. Selama di sini, Keenan tak pernah melewati batas, kecuali kalau yang ada di sana hanya Sena. Kalau ada Sena, Keenan bisa minta tolong apa saja, Sena bakalan bersedia. Dan sebaliknya, Sena kini pun selalu bisa terbuka sama Keenan, dan terbiasa meminta tolong pada Keenan. Kan Keenan jadi bangga karena selalu jadi tumpuan, lain waktu semoga jadi sandaran. Uhuk!

"Ampun dah, dangdutan, hahaha." Aji tiba-tiba berseloroh.

Keenan melirik padanya lalu tersenyum sinis.

"Bukannya selera kalian sama?"

"Iya sih, Gus. Tapi kan aku beda."

"Gak jauh beda jelek suaranya kan?"

"Laaaah, kalau aku gak bisa nyanyi aku gak bakalan tergabung dalam perkumpulan band 'kepret' Al-Hikam, Gus."

Keenan hanya menatap dengan sorot mengejek membuat Aji akhirnya berkata lagi.

"Meski penabuh alat musiknya, tapi kan kepiawaianku menabuh rebana jos loh, Gus. Gus Ken aja gak bisa, kan? Buktinya gak pernah aku lihat Gus Ken nabuh alat musik rebana."

"Aku bisa, cuma males."

"Halah, alasanmu, Gus!" balas Aji balik.

"Dih, gak percaya, besok-besok lihat aksiku, jangan terpesona ya? Apalagi jatuh cinta, aku masih lurus."

Jodoh Untuk Pak Komting! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang